Kamis, 11 Mei 2017

KOMPETISI MUDASABUDARTA 2017



Gubuk Harapan di Pelupuk Pidakan
Oleh : Ria Misdian Syahri

“Cicitcuitttt... ciciccuiittt.... Kukuruyukkk.. Kukuruuyuukkkk...!!”. Hembusan angin sepoi didampingi tetesan embun mewarnai indahnya mentari yang melirik di balik lembutnya kabut yang mendiami suatu lembah taman firdaus. Hempasan ombak samudera mengintip betapa indah ciptaan-Nya. Semut-semut meraba kegelapan untuk menemukan kawannya. Daun kelapa mengayun menggugurkan jiwa emosinya. Ditunggui batuan nan putih merayu penuh lirih. Ratusan hentak kaki tanpa tapal melangkahkan jengkalnya menyelimuti dinginnya bukit kapur. Celurit di tangan kanan tak khayal bak pejuang yang telah siap berperang. Berperang melawan dinginnya shubuh dan kerasnya batuan terjal kehidupan. Memikul keranjang harapan yang entah kapan akan terisi dengan keindahan. Menggelorakan raga yang mulai lelah akan perjuangan.
“Cah bagus tak anti-anti, jo pijer semaya wae, aku tresna karo kowe ....,, selamat pagi dulur-dulur, kembali lagi bersama Gemilang FM...”. Lamat-lamat terdengar suara radio yang bersumber dari bilik tetangga.
“Wangiii... Uhuukk uhukkk.. Nduukkk....”. Serak suara letih nan ringkih dari kejauhan. Nampak seorang kakek renta yang membawa seikat ikan segar.
“Iya mbah, sudah pulang ?”, dengan tergesa-gesa dan membawa blarak, gadis manis berkulit sawo matang dan berambut hitam lurus memanjang ini menghampiri sumber suara yang memanggilnya.
“Ini lo hasil melaut simbah tadi, nanti pulang sekolah jangan lupa digoreng ya”, Kek Guno memberikan ikan yang dibawanya ke cucunya itu. Kek Guno adalah orang yang merawat Wangi dan saudara kembarnya, Arum sejak berusia 3 tahun. Tepatnya sejak karamnya kapal yang ditumpangi ayahnya menuju Indonesia selat Malaka. Ayahnya merupakan orang berkebangsaan Jerman yang ketika berlayar menemukan suatu daerah di ujung barat daya propinsi Jawa Timur, Indonesia bernama Pacitan dan kemudian menikahi Ibunya. Sedangkan ibu Wangi tak lama setelah ayahnya meninggal ikut meninggal pula dikarenakan kecelakaan di Jalur Lintas Selatan Tulakan-Pacitan.
Gegap langkah terayun dari sepasang kaki mungil yang terbalut sepatu penuh lubang di sana-sini. Senyum semangat merekah dari bibir gadis 17 tahun bernama Wangi. Matanya memancarkan buih-buih harapan dari bangku pendidikan. Sebuah tempat bertuliskan SMA N 1 Ngadirojo menjadi sebuah tujuan. 10 km jarak yang harus ditempuhnya demi memetik cerita ilmu terbaru dari guru. Diantar naik motor kah ? Ah, rasanya itu terlalu muluk untuknya. Bahkan sepeda pancal pun tak ada. Dapat bersekolah di SMA favoritpun berkat beasiswa yang didapatnya. Itupun letak sekolahnya berbeda kecamatan dengan tempat tinggalnya.
“Wangi, ini buku fisika yang ingin kau pinjam kemarin. Tapi nanti seminggu sebelum UN tolong kau kembalikan ya, akan ku gunakan untuk belajar”. Bahasa yang kental akan logat Batak itu membangunkan Wangi dari lamunannya.
“Hei Maria, waahh.. ! Aku pinjam dulu ya bukumu, setelah selesai ku baca pasti kukembalikan. Mungkin seminggu lagi”. Sahut Wangi penuh semangat. Bibirnya menampakkan senyum merekahnya yang khas, tak lupa dengan lesung pipit yang menambah manis wajahnya.
Maria adalah sahabat karib Wangi. Berasal dari keturunan Batak dengan logat yang nampaknya sulit sekali untuk dirubah meskipun telah tinggal di Jawa selama hampir 10 tahun. Bahkan untuk berkomunikasi dengannya harus menggunakan Bahasa Indonesia agar Ia dapat mengerti. Maria sering meminjamkan buku yang Ia miliki kepada Wangi. Karena ayah Maria bekerja di kota, untuk mendapatkan buku penunjang belajar tak sulit baginya. Ditambah lagi Maria berasal dari keluarga yang berkecukupan. Bertolak belakang dari itu semua, untuk mendapatkan buku pelajaran sangat sulit bagi Wangi, karena memang di wilayah Pacitan khususnya Dusun Godek Kulon, Desa Jetak Kecamatan Tulakan tak ada satupun toko buku. Meskipun ada, keping rupiahnya tak akan cukup untuk membeli buku.
❀❀❀
“Wangi, nampaknya aku memang membutuhkan vitamin sea. Aaahhh..!! Segar kali udara di sini. Tak ingin pulang aku rasanya. Pasti senang kali rumah kau dekat pantai macam ini”. Celoteh Maria sambil merentangkan tangannya lebar-lebar menikmati keindahan ciptaan-Nya. Dihirupnya dalam-dalam udara segar pantai Pidakan. Liukan pohon kelapa nan gemulai, tiupan angin nan menggoda begitu merayunya hingga Ia lupa bahwa sahabatnya tak menanggapi celotehannya.
“Hei, Wangi ! Tak kau dengar kah omonganku tadi ?”, Maria membalikkan badan ketika menyadari bahwa sahabatnya itu terdiam seribu bahasa sedari tadi.
“Mariiaaa... aku di sini, kemarilah ! Akan ku tunjukkan sesuatu padamu !”, suara memanggil nama Maria terdengar dari kejauhan.
“Ya Tuhan, sedang apa pula kau ini ? Aku celingak celinguk cari kau, rupanya kau di sini”, omel Maria sambil bertolak pinggang pada Wangi.
“Hihihi maafkan aku, coba kamu lihat ini. Lucu sekali ya ?” Wangi cekikikan mendengar sahabatnya itu mengomel karena ditinggalnya bermain di bebatuan berlumut pantai. Ia menunjukkan seekor hewan air yang dimasukkannya ke dalam gelas bekas air mineral.
“Alamak, apa itu ? Hitam kali rupanya, macam kau saja. Hahaha”, ejek Maria sambil tertawa terpingkal-pingkal. Sementara Wangi hanya manyun mendengar ejekan sahabatnya itu,
“Coba sini ku pegang, apa sama lembeknya macam kau”, Maria dengan cepat mengambil hewan itu dari wadahnya. Tiba-tibaa...
“Awww... Sakit kali tanganku.. Huhuhuuuu.. Dasar hewan jelek, matilah kau !”, Maria melemparkan hewan itu dari genggamannya.
“Maria, kamu ini ndak hati-hati, selalu ceroboh. Hewan itu namanya bulu babi. Dia punya duri tajam seperti landak, makanya tadi aku menaruhnya di gelas”, Wangi mengelus-elus tangan Maria yang terkena tajamnya duri bulu babi.
“Bulu babi ? Aneh kali nama hewan itu. Ku rasa dia tak nampak macam babi”, sahut Maria ingin tahu sambil menahan rasa sakit di tangannya.
“Iya, bulu babi di daerah Pacitan hanya terdapat di pantai Pidakan ini. Mungkin juga di Jawa Timur hanya di sinilah bulu babi berada. Jadi selain batuan dan pasirnya yang berwarna putih, keberadaan hewan ini juga menjadi daya tarik pengunjung untuk datang kemari”. Jelas Wangi sambil berjalan menyusuri batuan putih pantai untuk menuju tempat parkir motor Maria.
Sang surya merunduk cantik seiring menghilangnya bayangan kedua gadis itu. Awan memerah jingga ketika mendengar adzan maghrib berkumandang. Kios-kios kelontong mulai  menghentikan kegiatannya. Hitam kelam. Hanya diterangi sinar rembulan nan ayu merayu. Berhenti. Tak ada tanda-tanda kehidupan setelahnya.
❀❀❀
Ujian Nasional telah usai. Artinya Wangi telah mengalami libur panjang. Berarti pula kini hari-hari Wangi diisi dengan kesibukannya membantu kakeknya mencari makanan untuk bertahan hidup. Setiap sore Wangi selalu pergi ke pantai untuk mencari kerang.  Tak banyak memang, tapi cukup untuk dimakan Wangi, kakek dan saudara kembarnya.
“Wangi.. Apa kamu tidak ingin melanjutkan sekolahmu ?”, pertanyaan yang terlontar untuk Wangi ketika sedang menyuapi Arum.
“Arum, kamu ini suka bercanda. Mana ada uang untuk kuliah. Tapi aku mendaftarkan SNMPTN program bidik misi. Hanya saja aku tak berharap lebih dengan itu”. Wangi menanggapi pertanyaan saudara kembarnya sambil tersenyum kecut. Menunjukkan bahwa Ia tak mengharapkan sesuatu yang lebih dari jalur pendaftaran kuliah itu.
            Aku harap Allah memberi jalan untukmu Wangi”, Arum tersenyum manis pada Wangi, mirip sekali dengan senyum Wangi bak pinang dibelah dua.
❀❀❀
            Hari terlewati, jam menampar dengan kejam, detik berbicara mengkritik. Angin membisik angan. Katak mengintip di balik pandan. Mungkin penasaran. Tak kah gadis itu memiliki kegiatan ? Hingga Ia melamun menatap jauh dari pandangan. Terpaku pada deburan ombak. Terduduk di suatu lincak (gubuk). Wangi merenungi sesuatu yang menguras otak. Ia kembali memikirkan pertanyaan kembarannya. Dalam hati kecilnya Ia sangat ingin untuk kuliah. Namun mengingat kondisi keluarganya yang serba pas-pasan, rasanya Ia harus mengubur dalam-dalam keinginan itu. Tapi kembali lagi Ia berfikir, bagaimana Ia akan merubah nasib keluarganya jika Ia tidak berpendidikan tinggi. Darimana Ia akan mendapatkan pekerjaan yang layak. Pekerjaan yang menghasilkan gaji tinggi. Gaji yang dapat Ia gunakan untuk memperbaiki rumahnya yang telah reyot, gaji yang dapat Ia gunakan untuk mengganti bilik bambu rumahnya dengan tembok bata. Sudahlah ! Tak perlu mengharapkan sesuatu yang tak mungkin tercapai. Toh dengan hasil melautpun Ia akan mendapatkan uang, meski tak seberapa.
            “Selamat siang”, suara  seseorang memecah lamunanku
            Eehh iya selamat siang”, dengan sedikit kaget Wangi menyunggingkan senyumnya yang khas.
            “Perkenalkan saya Wempy dari Surabaya”, Laki-laki berperawakan tinggi putih itu mengulurkan tangannya pada Wangi yang duduk di lincak.
            “Oh iya saya Wangi”, Wangi menanggapi perkenalan Wempy dengan berjabat tangan.
             “Saya mau tanya, apa benar ini pantai Pindangan ?”
            “Ini pantai Pidakan mas, bukan Pindangan, kalau pindang itu nama ikan”, Wangi cekikikan mendengar laki-laki itu menyebut nama pantai di dekat rumahnya.
“Whaha iya itu maksud saya, pantai pi.. da.. kan..”, Wempy mengejanya agar tak salah kembali
            “Iya benar, kalau Mas berjalan ke barat terus, nanti Mas akan menemukan tulisan besar PIDAKAN berwarna merah”, Wangi menjelaskan panjang lebar mengenai pantai yang berada di lembah suatu bukit kapur bermotto “Tata Pramana Hargeng Praja” itu.
Obrolan keduanya pun berlanjut. Bahkan Wangi mengantarkan Wempy untuk berkeliling di pantai Pidakan. Menyusuri goa di pinggir pantai yang meneteskan air dari atapnya, bermain bersama bulu babi yang lucu, menggoso-gosok batuan putih yang dianggap Wempy dapat menghaluskan kulit, melompati bebatuan berlumut tipis, berfoto bersama, serta bercanda ria melupakan keterangan yang menunjukkan bahwa keduanya baru saling mengenal.
❀❀❀
“Tik tok tik tok...”, jarum panah jam mendekati angka 12, sunyi.
 “Wangi.. W-A wa N-G-I ngi Wangi, hmm nama yang cantik, secantik parasnya,”, sprei bergambar lambang Barcelona itu nampak berantakan karena yang menempatinya berguling ke kanan kiri tak kunjung mengatupkan matanya. Wempy nampak gelisah, resah.
“Kriinnggg... kriinggg... Gubraakkk”.
“Berisik banget, jam berapa sih ? Huuaaahhhhh.... hmm”, seketika mata Wempy terbelalak melihat jam beker di meja kamar hotelnya menunjuk angka 07.15 WIB.
“Astaga, aku harus lekas pergi ke pantai agar bisa bertemu Wangi. Wangi kemarin mengatakan kalau pagi Ia pergi ke pantai mencari kerang”. Bergegaslah Wempy menyahut handuk di gantungan pintu.
❀❀❀
Usai membayar tiket sebesar tiga ribu rupiah di pintu masuk, Wempy mengendarai mobilnya menuruni jalanan menuju pantai. Jalan yang harus ditempuhnya kurang lebih sepanjang 300 meter. Sepanjang jalan menurun, di kanan jalan terdapat pohon-pohon kelapa nan rindang. Sedangkan di sebelah kiri jalan terdapat beberapa rumah penduduk. Pemandangan pertama yang nampak ketika memasuki kawasan pinggir pantai yakni tanaman pandan yang tumbuh subur bersembunyi di bawah liukan pohon kelapa yang memagari bebatuan.
“Seprene nggonku ngenteni janji, janji prasetyaning ati. Kadung tresna mring sliramu, duh wong bagus ra eling dina lan wektu, ning ati katon ra bi.. Eh kamu, kok pagi-pagi udah di sini ?”, nyanyian merdu Wangi seketika terhenti ketika Ia menyadari sesosok laki-laki bertopi hitam itu telah berada di sampingnya.
“Suaramu merdu sekali Wangi, aku ingin menirukan tapi aku tak bisa berbahasa sepertimu, haha..” Wempy memecahkan hati Wangi yang beberapa saat lalu terkejut akan kehadirannya.
“Ah kamu bisa saja, itu langgam atau lagu Jawa, judulnya lungiting asmara”. Wangi menjelaskan lagu yang dinyanyikannya itu.
“Sudah selesai cari kerangnya ?”
“Sudah, ini sudah terlalu banyak”
Keduanya berjalan menepi lalu duduk di sebuah gubuk.
 “Wangi, setelah ini kamu akan melanjutkan pendidikanmu kemana ?”
 “Aku tidak tahu, mungkin aku tak melanjutkannya. Aku tak memiliki cukup uang untuk itu.”
“Apakah kamu tidak daftar bidik misi ?”
“Sudah, namun aku tak berharap lebih”
“Oh iya, kalau tidak salah kan hari ini pengumumannya, sebentar-sebentar”. Wempy mengeluarkan smartphone dari dalam sakunya. Ia membuka situs web pendaftaran lalu Wangi menyebutkan kode pendaftarannya.
Wangi, lihat ini ! Kamu diterima di pilihan nomor 1 !”, Wempy menunjukkan tulisan di smartphone-nya pada Wangi
“Hahh.. benarkah ??” Wangi terkejut dengan apa yang diutarakan Wempy. Sedari tadi Ia tak memperhatikan apa yang dilakukan Wempy karena memang Ia tidak ingin berharap terlalu lebih pada hasil itu.
“Wem.. Apa itu benar ? Rasanya sulit untuk mempercayainya”, mata Wangi berkaca-kaca melihat tulisan di layar smartphone Wempy.
“Benar Wangi, ini website resminya. Sekarang kau tak perlu khawatir, karena biaya pendidikan dan kehidupanmu nanti akan dijamin oleh pemerintah”. Wempy meyakinkan Wangi bahwa Ia tidak sedang bermimpi.
❀❀❀
“Dapp.. daapp.. dapp..”, suara sepatu itu melangkah dengan pasti menuju sebuah gedung yang menjulang tinggi. 1 bulan telah berlalu semenjak pengumuman penerimaan mahasiswa baru. Kini Wangi menapakkan kakinya pada sebuah halaman luas suatu kampus.
“Hai..”, suara itu menghentikan langkah kaki Wangi. Ia segera menoleh menuju sumber suara.
“Loh Wempy.. Kok kamu di sini ?” Sesosok laki-laki berkemeja putih berada di hadapan Wangi saat ini. Matanya pernah memandang sosok itu 1 bulan yang lalu.
“Memangnya tak boleh aku pergi ke kampusku sendiri ?”, Wempy menyunggingkan senyumnya menatap mata Wangi dalam-dalam.
“Kampusmu ? Jadi selama ini kamu kuliah di sini ?”, Wangi terkejut namun bibirnya yang manis itu menyunggingkan senyum khasnya.
“Iya benar, mungkin obrolan kita kemarin tak sampai membicarakan bahwa aku sudah mahasiswa semester lima di sini”.
“Astaga benarkah ? Mengapa kamu tak mengatakan saat itu kalau kita akan satu kampus ?”, entah keterkejutan Wangi yang ke berapa yang telah dibuat oleh laki-laki ini.
“Aku ingin membuatmu terkejut untuk kesekian kalinya”, Wempy tersenyum lalu menarik tangan gadis itu menuju suatu gedung pertemuan yang telah hiruk pikuk didatangi para kawula muda, bapak ibu separuh baya yang mengantarkan buah hatinya.
Wempy mengantarkan Wangi menuju gedung pertemuan untuk daftar ulang dan mengantarkannya pulang ke asrama putri kampus. Hubungan keduanya terjalin dengan baik. Meskipun berbeda jurusan, namun keduanya masih satu fakultas. Sering bertemu untuk saling membantu menyelesaikan tugas.
Kini harapan-harapan Wangi yang selalu digumamkannya di gubuk itu telah menjadi kenyataan. Gubuk tempat bertemunya Ia dengan sesorang yang sangat peduli padanya, yang selalu membuatnya terkejut, yang mengatakan bahwa Ia diterima bidik misi. Wangi seorang anak pesisir pantai Pidakan kini menjadi seorang mahasiswi di kota metropolitan.













BIODATA PENULIS

Nama saya Ria Misdian Syahri. Dilahirkan pada 08 Juli 1998 di sebuah
kabupaten kecil bernama Pacitan, yang juga merupakan kota kelahiran Presiden kita
yang ke 6 Bapak Drs. Ir. H. Susilo Bambang Yudhoyono.  Pendidikan dari TK
hingga SMA saya tempuh di Pacitan.
Saat ini saya berstatus sebagai mahasiswi
semester II jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian
di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jawa Timur, Surabaya.
Oh iya, untuk background foto saya itu adalah pantai Pidakan yang
merupakan setting tempat dari cerpen yang saya buat ini. Semoga pembaca   
menikmati karya saya  dan tertarik untuk berkunjung ke salah satu destinasi wisata
di Kabupaten Pacitan ini ya... Nanti boleh deh Ria jadi guide-nya,  hehehe... Selamat
membaca ceritanya teman-teman J Salam 1001 pantai J
Info Media Sosial Penulis :
E-mail              : riasyahri22@gmail.com
Facebook         : Ria Misdian Syahri
Instagram        : ria­_syahri
No. Telp          : +6281333770914

Tidak ada komentar:

Posting Komentar