Gubuk Harapan di Pelupuk Pidakan
Oleh : Ria Misdian Syahri
“Cicitcuitttt...
ciciccuiittt.... Kukuruyukkk.. Kukuruuyuukkkk...!!”. Hembusan angin sepoi didampingi
tetesan embun mewarnai indahnya mentari yang melirik di balik lembutnya kabut
yang mendiami suatu lembah taman firdaus. Hempasan ombak samudera mengintip
betapa indah ciptaan-Nya. Semut-semut meraba kegelapan untuk menemukan kawannya.
Daun kelapa mengayun menggugurkan jiwa emosinya. Ditunggui batuan nan putih
merayu penuh lirih. Ratusan hentak kaki tanpa tapal melangkahkan jengkalnya menyelimuti
dinginnya bukit kapur. Celurit di tangan kanan tak khayal bak pejuang yang
telah siap berperang. Berperang melawan dinginnya shubuh dan kerasnya batuan
terjal kehidupan. Memikul keranjang harapan yang entah kapan akan terisi dengan
keindahan. Menggelorakan raga yang mulai lelah akan perjuangan.
“Cah bagus tak anti-anti,
jo pijer semaya wae, aku tresna karo kowe ....,, selamat pagi dulur-dulur,
kembali lagi bersama Gemilang FM...”. Lamat-lamat terdengar
suara radio yang bersumber dari bilik tetangga.
“Wangiii... Uhuukk
uhukkk.. Nduukkk....”. Serak suara letih nan ringkih dari
kejauhan. Nampak seorang kakek renta yang membawa seikat ikan segar.
“Iya mbah, sudah pulang ?”,
dengan
tergesa-gesa dan membawa blarak, gadis
manis berkulit sawo matang dan berambut hitam lurus memanjang ini menghampiri sumber
suara yang memanggilnya.
“Ini lo hasil melaut
simbah tadi, nanti pulang sekolah jangan lupa digoreng ya”, Kek
Guno memberikan ikan yang dibawanya ke cucunya itu. Kek Guno adalah orang yang
merawat Wangi dan saudara kembarnya, Arum sejak berusia 3 tahun. Tepatnya sejak
karamnya kapal yang ditumpangi ayahnya menuju Indonesia selat Malaka. Ayahnya
merupakan orang berkebangsaan Jerman yang ketika berlayar menemukan suatu
daerah di ujung barat daya propinsi Jawa Timur, Indonesia bernama Pacitan dan
kemudian menikahi Ibunya. Sedangkan ibu Wangi tak lama setelah ayahnya
meninggal ikut meninggal pula dikarenakan kecelakaan di Jalur Lintas Selatan
Tulakan-Pacitan.
Gegap
langkah terayun dari sepasang kaki mungil yang terbalut sepatu penuh lubang di
sana-sini. Senyum semangat merekah dari bibir gadis 17 tahun bernama Wangi. Matanya
memancarkan buih-buih harapan dari bangku pendidikan. Sebuah tempat bertuliskan
SMA N 1 Ngadirojo menjadi sebuah tujuan. 10 km jarak yang harus ditempuhnya
demi memetik cerita ilmu terbaru dari guru. Diantar naik motor kah ? Ah,
rasanya itu terlalu muluk untuknya. Bahkan sepeda pancal pun tak ada. Dapat
bersekolah di SMA favoritpun berkat beasiswa yang didapatnya. Itupun letak
sekolahnya berbeda kecamatan dengan tempat tinggalnya.
“Wangi, ini buku fisika
yang ingin kau pinjam kemarin. Tapi nanti seminggu sebelum UN tolong kau kembalikan
ya, akan ku gunakan untuk belajar”. Bahasa yang kental akan
logat Batak itu membangunkan Wangi dari lamunannya.
“Hei Maria, waahh.. ! Aku
pinjam dulu ya bukumu, setelah selesai ku baca pasti kukembalikan. Mungkin
seminggu lagi”. Sahut Wangi penuh semangat. Bibirnya
menampakkan senyum merekahnya yang khas, tak lupa dengan lesung pipit yang
menambah manis wajahnya.
Maria
adalah sahabat karib Wangi. Berasal dari keturunan Batak dengan logat yang
nampaknya sulit sekali untuk dirubah meskipun telah tinggal di Jawa selama
hampir 10 tahun. Bahkan untuk berkomunikasi dengannya harus menggunakan Bahasa
Indonesia agar Ia dapat mengerti. Maria sering meminjamkan buku yang Ia miliki
kepada Wangi. Karena ayah Maria bekerja di kota, untuk mendapatkan buku
penunjang belajar tak sulit baginya. Ditambah lagi Maria berasal dari keluarga
yang berkecukupan. Bertolak belakang dari itu semua, untuk mendapatkan buku
pelajaran sangat sulit bagi Wangi, karena memang di wilayah Pacitan khususnya
Dusun Godek Kulon, Desa Jetak Kecamatan Tulakan tak ada satupun toko buku.
Meskipun ada, keping rupiahnya tak akan cukup untuk membeli buku.
❀❀❀
“Wangi, nampaknya aku memang membutuhkan vitamin sea. Aaahhh..!!
Segar kali udara di sini. Tak ingin pulang aku rasanya. Pasti senang kali rumah
kau dekat pantai macam ini”. Celoteh Maria sambil merentangkan tangannya lebar-lebar menikmati
keindahan ciptaan-Nya. Dihirupnya dalam-dalam udara segar pantai Pidakan.
Liukan pohon kelapa nan gemulai, tiupan angin nan menggoda begitu merayunya
hingga Ia lupa bahwa sahabatnya tak menanggapi celotehannya.
“Hei, Wangi ! Tak kau dengar kah omonganku tadi ?”, Maria membalikkan badan ketika menyadari
bahwa sahabatnya itu terdiam seribu bahasa sedari tadi.
“Mariiaaa... aku di sini, kemarilah ! Akan ku tunjukkan sesuatu
padamu !”, suara
memanggil nama Maria terdengar dari kejauhan.
“Ya Tuhan, sedang apa pula kau ini ? Aku celingak celinguk cari
kau, rupanya kau di sini”,
omel Maria sambil bertolak pinggang pada Wangi.
“Hihihi maafkan aku, coba kamu lihat ini. Lucu sekali ya ?” Wangi cekikikan mendengar sahabatnya itu
mengomel karena ditinggalnya bermain di bebatuan berlumut pantai. Ia
menunjukkan seekor hewan air yang dimasukkannya ke dalam gelas bekas air
mineral.
“Alamak, apa itu ? Hitam kali rupanya, macam kau saja. Hahaha”, ejek Maria sambil tertawa
terpingkal-pingkal. Sementara Wangi hanya manyun mendengar ejekan sahabatnya
itu,
“Coba sini ku pegang, apa sama lembeknya macam kau”, Maria dengan cepat mengambil hewan itu
dari wadahnya. Tiba-tibaa...
“Awww... Sakit kali tanganku.. Huhuhuuuu.. Dasar hewan jelek,
matilah kau !”,
Maria melemparkan hewan itu dari genggamannya.
“Maria, kamu ini ndak hati-hati, selalu ceroboh. Hewan itu namanya
bulu babi. Dia punya duri tajam seperti landak, makanya tadi aku menaruhnya di
gelas”, Wangi
mengelus-elus tangan Maria yang terkena tajamnya duri bulu babi.
“Bulu babi ? Aneh kali nama hewan itu. Ku rasa dia tak nampak
macam babi”, sahut
Maria ingin tahu sambil menahan rasa sakit di tangannya.
“Iya, bulu babi di daerah Pacitan hanya terdapat di pantai Pidakan
ini. Mungkin juga di Jawa Timur hanya di sinilah bulu babi berada. Jadi selain
batuan dan pasirnya yang berwarna putih, keberadaan hewan ini juga menjadi daya
tarik pengunjung untuk datang kemari”. Jelas Wangi sambil berjalan menyusuri batuan putih pantai untuk
menuju tempat parkir motor Maria.
Sang surya merunduk cantik seiring menghilangnya
bayangan kedua gadis itu. Awan memerah jingga ketika mendengar adzan maghrib
berkumandang. Kios-kios kelontong mulai
menghentikan kegiatannya. Hitam kelam. Hanya diterangi sinar rembulan
nan ayu merayu. Berhenti. Tak ada tanda-tanda kehidupan setelahnya.
❀❀❀
Ujian Nasional telah usai. Artinya Wangi
telah mengalami libur panjang. Berarti pula kini hari-hari Wangi diisi dengan
kesibukannya membantu kakeknya mencari makanan untuk bertahan hidup. Setiap
sore Wangi selalu pergi ke pantai untuk mencari kerang. Tak banyak memang, tapi cukup untuk dimakan
Wangi, kakek dan saudara kembarnya.
“Wangi.. Apa kamu tidak ingin melanjutkan sekolahmu ?”, pertanyaan yang terlontar untuk Wangi
ketika sedang menyuapi Arum.
“Arum, kamu ini suka bercanda. Mana ada uang untuk kuliah. Tapi
aku mendaftarkan SNMPTN program bidik misi. Hanya saja aku tak berharap lebih
dengan itu”. Wangi
menanggapi pertanyaan saudara kembarnya sambil tersenyum kecut. Menunjukkan
bahwa Ia tak mengharapkan sesuatu yang lebih dari jalur pendaftaran kuliah itu.
“Aku harap Allah memberi jalan untukmu
Wangi”, Arum tersenyum manis pada Wangi, mirip sekali dengan senyum Wangi
bak pinang dibelah dua.
❀❀❀
Hari
terlewati, jam menampar dengan kejam, detik berbicara mengkritik. Angin
membisik angan. Katak mengintip di balik pandan. Mungkin penasaran. Tak kah
gadis itu memiliki kegiatan ? Hingga Ia melamun menatap jauh dari pandangan.
Terpaku pada deburan ombak. Terduduk di suatu lincak (gubuk). Wangi merenungi
sesuatu yang menguras otak. Ia kembali memikirkan pertanyaan kembarannya. Dalam
hati kecilnya Ia sangat ingin untuk kuliah. Namun mengingat kondisi keluarganya
yang serba pas-pasan, rasanya Ia harus mengubur dalam-dalam keinginan itu. Tapi
kembali lagi Ia berfikir, bagaimana Ia akan merubah nasib keluarganya jika Ia
tidak berpendidikan tinggi. Darimana Ia akan mendapatkan pekerjaan yang layak.
Pekerjaan yang menghasilkan gaji tinggi. Gaji yang dapat Ia gunakan untuk
memperbaiki rumahnya yang telah reyot, gaji yang dapat Ia gunakan untuk
mengganti bilik bambu rumahnya dengan tembok bata. Sudahlah ! Tak perlu
mengharapkan sesuatu yang tak mungkin tercapai. Toh dengan hasil melautpun Ia
akan mendapatkan uang, meski tak seberapa.
“Selamat siang”, suara seseorang memecah lamunanku
“Eehh iya selamat siang”, dengan sedikit
kaget Wangi menyunggingkan senyumnya yang khas.
“Perkenalkan saya Wempy dari Surabaya”,
Laki-laki berperawakan tinggi putih itu mengulurkan tangannya pada Wangi yang
duduk di lincak.
“Oh iya saya Wangi”, Wangi menanggapi
perkenalan Wempy dengan berjabat tangan.
“Saya
mau tanya, apa benar ini pantai Pindangan ?”
“Ini pantai Pidakan mas, bukan Pindangan,
kalau pindang itu nama ikan”, Wangi cekikikan mendengar laki-laki itu
menyebut nama pantai di dekat rumahnya.
“Whaha
iya itu maksud saya, pantai pi.. da.. kan..”, Wempy mengejanya agar tak salah kembali
“Iya benar, kalau Mas berjalan ke barat
terus, nanti Mas akan menemukan tulisan besar PIDAKAN berwarna merah”, Wangi
menjelaskan panjang lebar mengenai pantai yang berada di lembah suatu bukit
kapur bermotto “Tata Pramana Hargeng
Praja” itu.
Obrolan keduanya pun berlanjut. Bahkan Wangi mengantarkan Wempy
untuk berkeliling di pantai Pidakan. Menyusuri goa di pinggir pantai yang
meneteskan air dari atapnya, bermain bersama bulu babi yang lucu,
menggoso-gosok batuan putih yang dianggap Wempy dapat menghaluskan kulit,
melompati bebatuan berlumut tipis, berfoto bersama, serta bercanda ria
melupakan keterangan yang menunjukkan bahwa keduanya baru saling mengenal.
❀❀❀
“Tik tok tik tok...”, jarum panah jam mendekati angka 12, sunyi.
“Wangi.. W-A wa N-G-I ngi Wangi, hmm nama yang
cantik, secantik parasnya,”, sprei bergambar lambang Barcelona itu nampak
berantakan karena yang menempatinya berguling ke kanan kiri tak kunjung
mengatupkan matanya. Wempy nampak gelisah, resah.
“Kriinnggg... kriinggg... Gubraakkk”.
“Berisik banget, jam berapa sih ? Huuaaahhhhh.... hmm”, seketika mata Wempy terbelalak melihat
jam beker di meja kamar hotelnya menunjuk angka 07.15 WIB.
“Astaga, aku harus lekas pergi ke pantai agar bisa bertemu Wangi.
Wangi kemarin mengatakan kalau pagi Ia pergi ke pantai mencari kerang”. Bergegaslah Wempy menyahut handuk di gantungan
pintu.
❀❀❀
Usai membayar tiket sebesar tiga ribu
rupiah di pintu masuk, Wempy mengendarai mobilnya menuruni jalanan menuju
pantai. Jalan yang harus ditempuhnya kurang lebih sepanjang 300 meter.
Sepanjang jalan menurun, di kanan jalan terdapat pohon-pohon kelapa nan rindang.
Sedangkan di sebelah kiri jalan terdapat beberapa rumah penduduk. Pemandangan
pertama yang nampak ketika memasuki kawasan pinggir pantai yakni tanaman pandan
yang tumbuh subur bersembunyi di bawah liukan pohon kelapa yang memagari
bebatuan.
“Seprene nggonku ngenteni janji, janji prasetyaning ati. Kadung
tresna mring sliramu, duh wong bagus ra eling dina lan wektu, ning ati katon ra
bi.. Eh kamu, kok pagi-pagi udah di sini ?”, nyanyian merdu Wangi seketika terhenti ketika Ia menyadari sesosok
laki-laki bertopi hitam itu telah berada di sampingnya.
“Suaramu merdu sekali Wangi, aku ingin menirukan tapi aku tak bisa
berbahasa sepertimu, haha..” Wempy memecahkan hati Wangi yang beberapa saat lalu terkejut akan
kehadirannya.
“Ah kamu bisa saja, itu langgam atau lagu Jawa, judulnya lungiting
asmara”. Wangi menjelaskan
lagu yang dinyanyikannya itu.
“Sudah selesai cari kerangnya ?”
“Sudah, ini sudah terlalu banyak”
Keduanya berjalan menepi lalu duduk di
sebuah gubuk.
“Wangi, setelah ini kamu
akan melanjutkan pendidikanmu kemana ?”
“Aku tidak tahu, mungkin
aku tak melanjutkannya. Aku tak memiliki cukup uang untuk itu.”
“Apakah kamu tidak daftar bidik misi ?”
“Sudah, namun aku tak berharap lebih”
“Oh iya, kalau tidak salah kan hari ini pengumumannya, sebentar-sebentar”. Wempy mengeluarkan smartphone dari dalam
sakunya. Ia membuka situs web pendaftaran lalu Wangi menyebutkan kode
pendaftarannya.
“Wangi,
lihat ini ! Kamu diterima di pilihan nomor 1 !”, Wempy menunjukkan tulisan
di smartphone-nya pada Wangi
“Hahh.. benarkah ??” Wangi terkejut dengan apa yang diutarakan Wempy. Sedari tadi Ia
tak memperhatikan apa yang dilakukan Wempy karena memang Ia tidak ingin
berharap terlalu lebih pada hasil itu.
“Wem.. Apa itu benar ? Rasanya sulit untuk mempercayainya”, mata Wangi berkaca-kaca melihat tulisan
di layar smartphone Wempy.
“Benar Wangi, ini website resminya. Sekarang kau tak perlu
khawatir, karena biaya pendidikan dan kehidupanmu nanti akan dijamin oleh
pemerintah”. Wempy
meyakinkan Wangi bahwa Ia tidak sedang bermimpi.
❀❀❀
“Dapp.. daapp.. dapp..”, suara sepatu itu melangkah dengan pasti menuju sebuah gedung yang
menjulang tinggi. 1 bulan telah berlalu semenjak pengumuman penerimaan
mahasiswa baru. Kini Wangi menapakkan kakinya pada sebuah halaman luas suatu
kampus.
“Hai..”,
suara itu menghentikan langkah kaki Wangi. Ia segera menoleh menuju sumber
suara.
“Loh Wempy.. Kok kamu di sini ?” Sesosok laki-laki berkemeja putih berada di hadapan Wangi saat
ini. Matanya pernah memandang sosok itu 1 bulan yang lalu.
“Memangnya tak boleh aku pergi ke kampusku sendiri ?”, Wempy menyunggingkan senyumnya menatap
mata Wangi dalam-dalam.
“Kampusmu ? Jadi selama ini kamu kuliah di sini ?”, Wangi terkejut namun bibirnya yang manis
itu menyunggingkan senyum khasnya.
“Iya benar, mungkin obrolan kita kemarin tak sampai membicarakan
bahwa aku sudah mahasiswa semester lima di sini”.
“Astaga benarkah ? Mengapa kamu tak mengatakan saat itu kalau kita
akan satu kampus ?”, entah
keterkejutan Wangi yang ke berapa yang telah dibuat oleh laki-laki ini.
“Aku ingin membuatmu terkejut untuk kesekian kalinya”, Wempy tersenyum lalu menarik tangan gadis
itu menuju suatu gedung pertemuan yang telah hiruk pikuk didatangi para kawula
muda, bapak ibu separuh baya yang mengantarkan buah hatinya.
Wempy mengantarkan Wangi menuju gedung pertemuan
untuk daftar ulang dan mengantarkannya pulang ke asrama putri kampus. Hubungan
keduanya terjalin dengan baik. Meskipun berbeda jurusan, namun keduanya masih
satu fakultas. Sering bertemu untuk saling membantu menyelesaikan tugas.
Kini harapan-harapan Wangi yang selalu
digumamkannya di gubuk itu telah menjadi kenyataan. Gubuk tempat bertemunya Ia
dengan sesorang yang sangat peduli padanya, yang selalu membuatnya terkejut,
yang mengatakan bahwa Ia diterima bidik misi. Wangi seorang anak pesisir pantai
Pidakan kini menjadi seorang mahasiswi di kota metropolitan.
BIODATA
PENULIS
Nama saya Ria Misdian Syahri. Dilahirkan
pada 08 Juli 1998 di sebuah
kabupaten kecil bernama Pacitan, yang juga merupakan
kota kelahiran Presiden kita
yang ke 6 Bapak Drs. Ir. H. Susilo
Bambang Yudhoyono. Pendidikan dari TK
hingga SMA saya tempuh di Pacitan.
Saat ini saya berstatus sebagai mahasiswi
semester II jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian
di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jawa Timur, Surabaya.
Oh iya, untuk background foto saya itu
adalah pantai Pidakan yang
merupakan setting tempat dari cerpen yang saya buat
ini. Semoga pembaca
menikmati karya saya
dan tertarik untuk berkunjung ke salah satu destinasi wisata
di Kabupaten Pacitan ini ya... Nanti boleh deh Ria
jadi guide-nya, hehehe... Selamat
membaca ceritanya teman-teman J Salam 1001 pantai J
Info Media Sosial Penulis :
E-mail :
riasyahri22@gmail.com
Facebook :
Ria Misdian Syahri
Instagram :
ria_syahri
No. Telp :
+6281333770914
Tidak ada komentar:
Posting Komentar