MAKALAH
PULAU TERLUAR, TERDEPAN DAN TERTINGGAL (3T)
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
PROVINSI PAPUA BARAT
Pulau
Gag, Mutiara Papua Barat yang Terabaikan
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Kewarganegaraan
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ir. H. Syarif Imam Hidayat, MP
Oleh :
Ria Misdian Syahri
1624010034
Kelas A
PROGRAM
STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
SURABAYA
MEI,
2017
MAKALAH
PULAU TERLUAR, TERDEPAN DAN TERTINGGAL (3T)
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
PROVINSI PAPUA BARAT
Pulau
Gag, Mutiara Papua Barat yang Terabaikan
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Kewarganegaraan
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ir. H. Syarif Imam Hidayat, MP
Oleh :
Ria Misdian Syahri
1624010034
Kelas A
PROGRAM
STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
SURABAYA
MEI,
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah subhanahu
wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga diberikan kesempatan
dan kesehatan untuk dapat menyelesaikan tugas terstruktur ini. Tujuan penulisan
tugas terstruktur ini untuk memenuhi syarat kelengkapan tugas Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian Kewarganegaraan semester II pada Program Studi
Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa
Timur. Judul yang dipilih dalam tugas ini adalah “Pulau Gag, Mutiara Papua
Barat yang Terabaikan”.
Ucapan terima kasih saya sampaikan
kepada:
1.
|
Bapak Prof. Dr. Ir. H.
Syarif Imam Hidayat, MP selaku dosen pengampu Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian Kewarganegaraan yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam
penyelesaian tugas;
|
2.
|
Orang tua yang telah
memberikan doa, dukungan dan semangat;
|
3.
|
Baharinawati W. Hastanti
dan R. Gatot Nugroho Triantoro atas bantuan informasi sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat Pulau Gag dalam jurnalnya yang berjudul “Kondisi Sosial Ekonomi Dan Budaya Masyarakat
Sekitar Kawasan Konservasi : Studi Kasus
Di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat (Social Economic And Culture Conditions Of Community
Around Conservation
Area: Case Study At Gag Island, Raja Ampat,
West Papua);
|
4.
|
Teman-teman Program Studi
Agribisnis angkatan 2016 atas diskusi, bantuan, semangat, dukungan dan
persahabatan;
|
5.
|
Serta semua pihak yang
tidak dapat saya sebutkan satu per satu atas dukungannya selama ini.
|
Semoga tugas terstruktur ini bermanfaat.
|
DAFTAR ISI
Halaman Judul
|
2
|
Kata Pengantar
|
3
|
Daftar Isi
|
4
|
BAB
I PENDAHULUAN
|
|||||||||
1.1
|
Latar
Belakang
|
6
|
|||||||
1.2
|
Rumusan
Masalah
|
6
|
|||||||
1.3
|
Tujuan
|
7
|
|||||||
BAB
II LANDASAN TEORI
|
|||||||||
2.1
|
Pulau
|
8
|
|||||||
2.2
|
Pulau
Terluar, Terdepan dan Tertinggal (3T)
|
8
|
|||||||
BAB III
PEMBAHASAN
|
|||||||||
3.1
|
Letak
Geografis
|
10
|
|||||||
3.2
|
Sejarah
|
10
|
|||||||
3.3
|
Demografis
dan Kependudukan
|
||||||||
3.3.1
|
Jumlah
dan Sebaran Penduduk
|
11
|
|||||||
3.3.2
|
Tingkat
Pendidikan
|
12
|
|||||||
3.3.3
|
Agama
|
12
|
|||||||
3.3.4
|
Kepemilikan,
Penguasaan Tanah dan Pemanfaatan Lahan
|
13
|
|||||||
3.4
|
Sosial
Ekonomi Penduduk
|
||||||||
3.4.1
|
Mata
Pencaharian dan Ekonomi Penduduk
|
14
|
|||||||
3.4.2
|
Kebudayaan
Masyarakat
|
19
|
|||||||
3.4.2.1
|
Suku
|
||||||||
3.4.2.2
|
Bahasa
|
||||||||
3.4.2.3
|
Rumah
Adat
|
19
|
|||||||
3.4.2.4
|
Pakaian
Adat
|
21
|
|||||||
3.4.2.5
|
Tari
Khas Daerah
|
22
|
|||||||
3.4.2.6
|
Alat
Musik Daerah
|
23
|
|||||||
3.4.2.7
|
Makanan
Khas
|
23
|
|||||||
3.5
|
Sarana
dan Prasarana
|
||||||||
3.5.1
|
Transportasi
|
23
|
|||||||
3.5.2
|
Komunikasi
|
24
|
|||||||
3.5.3
|
Fasilitas
Ekonomi dan Perdagangan
|
24
|
|||||||
3.5.4
|
Fasilitas
Pelayanan Sosial
|
25
|
|||||||
3.6
|
Potensi
Wilayah
|
||||||||
3.6.1
|
Bahari
|
26
|
|||||||
3.6.2
|
Pertambangan
|
27
|
|||||||
3.7
|
Masalah
dan Kendala
|
28
|
|||||||
3.8
|
Program
Pemerintah
|
29
|
|||||||
3.9
|
Solusi
|
32
|
|||||||
BAB
IV PENUTUP
|
|||||||||
4.1
|
Kesimpulan
|
34
|
|||||||
4.2
|
Saran
|
34
|
|||||||
DAFTAR
PUSTAKA
|
|||||||||
LAMPIRAN
|
|||||||||
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Indonesia adalah suatu
negara yang berada di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan data Departemen Dalam
Negeri Republik Indonesia pada tahun 2004, di Indonesia terdapat 17.504 pulau.
Di antara pulau-pulau tersebut 7.870 telah memiliki nama dan 9.634 belum
memiliki nama. Fakta juga menunjukkan bahwasanya dua per tiga (2/3) dari
keseluruhan wilayah Indonesia merupakan kawasan laut. Sebagai bangsa bahari masyarakat
harus memiliki ilmu dan pengetahuan mengenai wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil yang merupakan bagian penting dari negara kepulauan ini.
Dalam Peraturan Presiden No.
78/2005 yang kini diperkuat dengan Undang-undang No. 27/2007 disebutkan bahwa
Indonesia memiliki 92 pulau kecil yang strategis secara posisi maupun ekonomi.
Sementara itu akses terhadap informasi terutama menyangkut posisi dan lokasi
pulau-pulau kecil tersebut kurang memadai. Pembangunan dan pengusahaan tentu
saja sulit dilakukan jika ternyata tidak terjadi pemahaman yang benar tentang
posisi dan kondisi pulau-pulau kecil yang dimaksud.
Kondisi politik, ekonomi,
sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan (POLEKSOSBUDHANKAM) yang berbeda-beda
antara satu pulau dengan pulau lain berpotensi terhadap perpecahan bangsa,
terutama untuk pulau kecil dan pulau terluar, terdepan dan tertinggal (3T). Pulau
Gag merupakan salah satu pulau kecil yang juga masuk dalam kategori pulau terluar,
terdepan dan tertinggal (3T).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu
dipelajari kondisi masyarakat di Pulau Gag yang merupakan pulau terluar,
terdepan dan tertinggal (3T).
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan judul di atas,
maka rumusan masalahnya yakni :
1.
Bagaimana
letak, sejarah, demografi penduduk, sosial ekonomi dan potensi wilayah Pulau
Gag ?
2.
Permasalahan
apa saja yang dihadapi oleh masyarakat di Pulau Gag
3.
Program
apa saja yang telah dilaksanakan oleh pemerintah Republik Indonesia dalam
menangani permasalahan di Pulau Gag?
4.
Solusi
dalam menangani permasalahan di Pulau Gag yang belum teratasi
1.3
Tujuan
1. Untuk mengetahui letak, sejarah,
demografi penduduk, sosial ekonomi dan potensi wilayah Pulau Gag
2. Untuk mengetahui permasalahan yang
dihadapi oleh masyarakat di Pulau Gag
3. Untuk mengetahui program yang telah
dilaksanakan oleh pemerintah Republik Indonesia dalam menangani permasalahan di
Pulau Gag
4.
Untuk
mengetahui solusi dalam menangani permasalahan di Pulau Gag yang belum teratasi
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Pulau
Pulau adalah tanah (daratan) yang
dikelilingi air (di laut, sungai, danau) (Poerwodarminto, 1982). Pulau (UNCLOS,
1982 pasal 121) adalah massa daratan yang terbentuk secara alamiah, dikelilingi
air dan selalu berada di atas permukaan pasang tertinggi. Mangrove, gosong,
batu tidak dapat dikategorikan sebagai pulau karena tidak memenuhi kriteria
seperti yang dikemukakan di atas. Ukuran besar dan kecil bukan merupakan
kriteria sebuah pulau. Dengan demikian pulau mempunyai ukuran yang sangat
bervariasi, mulai dari sekitar 1 hektar hingga Borneo sebesar 743.330 hektar.
2.2
Pulau Terluar,
Terdepan dan Tertinggal (3T)
Dalam dokumen Strategi Nasional Percepatan Pembangunan
Daerah Tertinggal (STRANAS PPDT) seperti tertuang dalam Peraturan Menteri
Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 07/PER/M-PDT/III/2007, disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan daerah tertinggal adalah daerah kabupaten yang
masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan dengan
daerah lain dalam skala nasional. Pengertian ini memiliki tiga kata kunci yang
perlu diperhatikan. Pertama, daerah
kabupaten bukan daerah yang bernomenklatur kota. Kedua, masyarakat dan wilayah, dua aspek ini
dirinci ke dalam enam kriteria poko ketertinggalan, yaitu : perekonomian masyarakat, sumber daya
manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan lokal (celah fiskal),
aksesibilitas, dan karakteristik daerah. Ketiga, relatif dalam skala nasional, daerah yang tergolong dalam kumpulan
daerah 3T merupakan daerah yang telah didata dan diperbandingkan secara relatif
dengan seluruh daerah kabupaten/ kota yang ada di Indonesia (Kompas, 5 Juli
2011 “Membangun Asa di Daerah Tertinggal”)
Daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal, sebuah istilah
yang seakan mendiskriminasikan daerah-daerah yang belum mengalami kemajuan
justru harus dipikul. Pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah juga belum
secara merata mengena daerah-daerah 3T ini. Sekalipun dalam RPJMN (Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional) telah ditetapkan sebelas prioritas
nasional yang salah satunya adalah “Daerah Terluar, Terdepan, Tertinggal, dan
Pasca Konflik”. Namun hingga saat ini pembangunan hanya terpusat di kota-kota
besar saja. Hal ini sangat bertolak belakang dengan amanat pembangunan
nasional, secara khusus pembangunan manusia Indonesia yang secara utuh
dilaksanakan di seluruh tanah air. Kesenjangan pembangunan itu masih cukup
tinggi, baik pembangunan infrastruktur, pelayanan dasar seperti kesehatan dan
pendidikan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Letak
Pulau Gag berada pada
koordinat 2o25’ LU-4o25’ LS dan 130o55’ BB-132o55’
BT. Pulau Gag merupakan salah satu pulau pada gugusan kepulauan Raja Ampat dan
terletak di bagian barat kepala burung Irian Jaya. Pulau Gag memiliki luas
sekitar 6500 hektar. Pulau Gag terletak 160 km arah barat laut Kota Sorong dan
kira-kira 2.400 km arah timur Jakarta.
Pulau Gag memiliki letak
administratif di Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua
Barat. Pulau ini memiliki topografi alam yang berbukit-bukit. Puncak tertinggi
yang dimiliki oleh pulau ini berada pada ketinggian 350 meter di atas permukaan
laut (mdpl), tepatnya berada di Gunung Susu.
3.2 Sejarah
Nama Pulau Gag berdasarkan mitologi
masyarakat setempat berasal dari kata gag yang
berarti teripang (Seacucumber) dalam Bahasa Weda, salah satu bahasa
yang digunakan oleh penduduk di Kepulauan Halmahera. Hal ini disebabkan karena
pendatang pertama yang masuk ke daerah ini melihat begitu banyaknya teripang di
perairan Pulau Gag. Pulau Gag sebelumnya merupakan pulau yang tidak berpenghuni
dan hanya digunakan untuk berkebun. Penduduk pertama Pulau Gag berasal dari
Pulau Gebe yang awalnya datang untuk mencari dan membuka lahan pertanian
(berkebun).
Sebelumnya terdapat perkampungan kuno
yang disebut Kampung Lama yaitu perkampungan yang ada pada masa awal kedatangan
penduduk pertama. Kampung tersebut sekarang sudah ditinggalkan penduduk karena
sebagian besar penduduk memilih bermukim di Kampung Gambir (Kampung Baru) yang
lokasinya lebih strategis karena berdekatan dengan komplek perusahaan, sehingga
fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat lebih dekat seperti dermaga, fasitas
listrik dan air, sekolah dan kesehatan.
Asal mula berkembangnya pemukiman di
Pulau Gag dimulai pada saat kemenangan pasukan Trikora yang berdatangan
sekembalinya Irian Jaya ke pangkuan NKRI pada tahun 1963. Kata “Gambir” berasal
dari kata gembira dalam Bahasa Indonesia sebagai ungkapan rasa suka cita atas
kembalinya Pulau Gag sebagai bagian wilayah Irian Jaya kepada NKRI. Kedatangan
pasukan Trikora di Pulau Gag juga diikuti dengan kedatangan pendatang yang
ingin mengadu nasib bekerja di pertambangan nikel.
3.3
Demografis
dan Kependudukan
3.3.1 Jumlah dan Sebaran Penduduk
Jumlah penduduk (Tahun 2009)
di Kampung Gambir seluruhnya adalah 633 jiwa termasuk dalam 133 Kepala Keluarga
(KK), terdiri dari 345 orang pria dan 288 orang wanita. Perbandingan antara
jumlah penduduk wanita dan pria adalah 83,48%, sehingga jumlah penduduk pria
lebih banyak dari wanita. Penduduk Kampung Gambir tersebar dalam empat wilayah
Rukun Tetangga (RT), dengan jumlah penduduk terbanyak bermukim di RT III, yaitu
201 orang. Apabila ditinjau dari luas Pulau Gag yang 7.727 hektar, maka
kepadatan penduduk adalah 0,08 orang per hektar, sehingga daerah ini termasuk
dalam tingkat kepadatan yang sangat rendah.
Di bawah ini adalah tabel
sebaran penduduk di Pulau Gag, Kabupaten Kepulauan Raja Ampat.
Tabel
(Table)
1. Jumlah dan Sebaran Penduduk di Pulau Gag 2009 (Numberand Distribution of Population at Gag Island)
Jumlah
penduduk yang mendiami suatu wilayah akan berpengaruh pada kesejahteraan
masyarakat apabila dihubungkan dengan jumlah pendapatan masyarakat. Semakin
besar jumlah penduduk yang mendiami suatu wilayah maka akan semakin besar beban
tanggungan ekonomi masyarakat. Apalagi jika sebagian besar penduduk yang
berusia produktif ternyata tidak bekerja atau tidak mempunyai penghasilan.
Jumlah pendapatan suatu masyarakat di suatu wilayah akan mempengaruhi daya
beli, perputaran uang dan tingkat inflasi di derah tersebut.
3.3.2
Tingkat
Pendidikan
Tingkat
pendidikan penduduk di Kampung Gambir tergolong rendah, sebagian besar
berpendidikan Sekolah Dasar (SD) berjumlah 293 orang (46,29%)dan tidak
bersekolah sebanyak 159 orang (25,12%). Hal itu disebabkan terbatasnya akses
pendidikan yang dapat dienyam penduduk. Pendidikan menjadi suatu hal yang mahal
karena pendidikan yang dapat dienyam di Pulau Gag hanya sampai pada tingkat
Sekolah Dasar (SD). Untuk untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi,
masyarakat harus mengeluarkan biaya yang besar karena harus melanjutkannya di
luar Pulau Gag. Tingkat pendidikan penduduk di Pulau Gag disajikan pada Tabel
2. :
Tabel (Table) 2. Tingkat Pendidikan Penduduk di
Pulau Gag 2009 (Level education of
Population at Gag Island)
3.3.3
Agama
Sebagian besar penduduk yang mendiami Pulau Gag memeluk
agama Islam yaitu sebanyak 611 orang (96,52%), sedangkan sisanya memeluk agama
Kristen (3,48%). Fasilitas keagamaan yang ada berupa satu buah masjid dan satu
buah gereja. Agama turut berperan serta mempengaruhi tata kehidupan masyarakat.
Pemanfaatan sumber daya hutan di Pulau Gag juga dipengaruhi oleh agama yang
dianut. Pada umumnya masyarakat lebih banyak memenuhi kebutuhan protein dari
hasil laut, sehingga tidak mengganggu kehidupan jenis reptil maupun amphibi,
karena dalam ajaran agama Islam diharamkan untuk dimakan atau dikonsumsi.
Walaupun sebagian besar masyarakat di Pulau Gag adalah pemeluk agama Islam,
namun masih juga menganut kepercayaan terhadap hal-hal yang magies.
Ketergantungan masyarakat yang kuat terhadap alam menyebabkan masyarakat
percaya adanya kekuatan-kekuatan lain di luar Tuhan yang lebih kecil namun
berpengaruh terhadap kehidupan. Oleh sebab itu ritual-ritual adat masih kuat
dilakukan oleh masyarakat untuk memperoleh dukungan keselamatan dalam kehidupan
sehari-hari.
3.3.4
Kepemilikan,
Penguasaan Tanah dan Pemanfaatan Lahan
Pengelompokan
sosial yang terdapat di Pulau Gag berdasarkan kekuasaan atas tanah. Kepemilikan
dan penguasaan tanah umumnya didominasi oleh penduduk asli Pulau Gag yang
terdiri dari 6 marga (klen/keret) yaitu : Umsipyat,
Umsandim, Magtublo, Magimai, Magbow dan Umlil. Kepemilikan tanah di Pulau Gag bersifat turun temurun dan
tidak diperjual belikan.
Pendistribusian
hak atas tanah akan diberikan pada keturunan yang telah menikah. Pendatang yang
telah berkeluarga akan diberikan tanah untuk tempat tinggal dan berkebun tetapi
tidak mempunyai hak milik atas tanah. Keturunan penduduk asli Pulau Gag
memiliki hak penuh atas penguasaan dan pemanfaatan atas tanah yang diberikan
kepadanya. Kepemilikan dan hak penguasaan tanah yang terdapat di Pulau Gag akan
mendorong kedatangan pendatang yang akan berpengaruh positif terhadap investasi
dan menggerakkan roda ekonomi regional.
Pemanfaatan
lahan yang ada di Pulau Gag terdiri dari lahan pemukiman dan pekarangan,
landasan pesawat terbang, dusun sagu, kebun kelapa, kebun, lahan pertambangan,
dan hutan sekunder. Terdapat dua pemukiman di Pulau Gag yaitu Kampung Lama dan
Kampung Baru. Pemukiman Kampung Lama adalah pemukiman kuno awal masuknya
penduduk asli Pulau Gag, sekarang bekas kampung tersebut telah menjadi lahan
untuk kebun, yang ditandai dengan adanya beberapa pemakaman kuno. Jarak antara
Kampung Lama dan Kampung Baru kira-kira 5 Km. Dusun sagu menyebar di sekeliling
Pulau Gag pada tanah-tanah berawa dan berdekatan dengan lahan untuk kebun.
Lahan untuk kebun dan kebun kelapa menyatu dan tidak terpisah. Landasan pesawat
terbang yang dibangun pada masa PT. Pasifik Nikel merupakan bekas lahan kebun
dan kebun kelapa. Landasan tersebut sekarang hanya berfungsi sebagai tempat
penggembalaan ternak atau sekali-kali didarati pesawat terbang jenis helikopter
atau twin otter yang membawa rombongan pemerintah yang melakukan kunjungan
kerja. Lahan pertambangan berada pada bukit-bukit yang kering dan tandus.
Kegiatan penambangan nikel menurut pihak perusahaan sudah tidak ada lagi,
kecuali kegiatan eksplorasi pengambilan sampel dengan proses pengapalan untuk
dikirim ke Australia, setelah sampai di Sorong.
Tanah
adalah salah satu harta yang dapat diwariskan. Kepemilikan tanah yang ada di
Pulau Gag umumnya diwariskan sesuai dengan hukum Islam, dimana laki-laki akan
memperoleh hak yang lebih besar dari perempuan. Pengalihan hak dari orang tua
kepada anaknya dilakukan ketika orang tua sudah meninggal dan anak telah
berkeluarga. Selain diwariskan kepada keturunannya tanah di Pulau Gag juga
diberikan untuk kepentingan umum (hibah),
sesuai dengan hukum Islam hibah
adalah pemberian yang dilakukan untuk kepentingan umum dengan harapan pemberi
hibah akan mendapatkan pahala sepanjang tanah itu dimanfaatkan. Hibah tanah umumnya digunakan untuk
bangunan masjid dan sekolah.
3.4 Sosial Ekonomi Penduduk
3.4.1
Mata
Pencaharian dan Ekonomi Penduduk
Secara
umum terdapat tiga jenis mata pencaharian utama penduduk di Pulau Gag yaitu :
nelayan, pegawai dan petani. Namun disamping mata pencaharian pokok tersebut,
penduduk juga mempunyai mata pecaharian sampingan seperti : berkebun, meramu
sagu, membuat kopra dan berdagang. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3. Di bawah
ini :
Tabel (Table) 3. Jenis Mata Pencaharian
Penduduk Pulau Gag (2009)
Wilayah yang dikelilingi
oleh laut menyebabkan hampir sebagian besar penduduk di Pulau Gag
menggantungkan hidupnya dengan bekerja sebagai nelayan tradisional. Tingkat
pendidikan yang rendah juga menyebabkan nelayan sebagai salah satu alternatif
pekerjaan, karena nelayan tradisional di daerah ini tidak menggunakan teknologi
tinggi dalam penangkapan ikan, sehingga pekerjaan ini tidak memerlukan
pendidikan formal. Teknik penangkapan ikan oleh masyarakat antara lain dengan
menggunakan jaring, racun (akar bore), tombak, busur dan anak panah, bahan
peledak dan jerat ikan.
Tingkat pendidikan yang
rendah dan desakan kebutuhan ekonomi menyebabkan kurangnya pemahaman masyarakat
tentang konservasi sumberdaya alam, sehingga masyarakat mempunyai kebiasaan
menggunakan bahan peledak dan bahan-bahan yang merusak kehidupan biota laut
dalam menangkap ikan.
Pada dasarnya perairan di
sekitar Pulau Gag kaya akan hasil laut berupa berbagai jenis ikan (tuna,
kembung, samandar, bobara, kurisi, baronang, hiu, bulanak, lalosi, teri, udang,
lobster dan teripang. Hasil perikanan selain dikonsumsi sendiri juga dijual
pada masyarakat di Pulau Gag dan pengepul yang datang dari Sorong baik berupa
ikan segar maupun ikan asin. Kurangnya teknologi untuk pengawetan ikan
terkadang menyebabkan rendahnya harga jual ikan di tingkat nelayan. Harga jual
selain dipengaruhi oleh kualitas ikan juga dipengaruhi oleh permintaan maupun
penawaran di pasaran.
Penunjukkan kawasan Raja
Ampat sebagai Suaka Margasatwa Laut oleh Kementerian Kehutanan juga membatasi
akses masyarakat untuk memanfaatkan laut sebagai sandaran mata pencaharian.
Selain itu juga menutup kemungkinan terbukanya lapangan kerja di sektor
perikanan, karena investasi bidang kelautan, seperti penangkapan ikan dan
pengalengan oleh perusahaan asing seperti di Sorong, tidak mungkin dilakukan di
daerah ini. Walaupun seperti diketahui laut-laut di perairan Papua, pada
umumnya mengandung kekayaan laut yang bernilai ekonomis tinggi. Penunjukan
kawasan ini sebagai kawasan konservasi laut akan menyebabkan pembatasan akses
terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, karena kawasan konservasi hanya
dapat diperuntukkan sebagai tempat pendidikan dan penelitian.
Selain bekerja sebagai
nelayan umumnya masyarakat di Pulau Gag juga mempunyai pekerjaan sampingan
berkebun. Kondisi tanah yang tandus dan berbatu menyebabkan tidak ada tanaman
yang bisa dijadikan komoditas perdagangan. Hasil kebun umumnya hanya digunakan
secara subsisten dan dijual antar warga. Tanaman yang ditanam merupakan tanaman
konsumsi masyarakat antara lain : kangkung (Ipomoeaspp),
keladi (Colocasiaesculanta), singkong (Manihotutilisima),
ubi jalar (Ipomoea batatas), pinang (Areca cattechu), cabai (Capsicum anuum), tomat (Solanumtuberocum) dan aneka tanaman
pekarangan (bumbu dapur) seperti jahe (Zingiberofficinale)
, kunyit (Curcumadomestica), lengkuas
(Alpiniagalangal), sereh (Andropogonnardus) dan pandan (Pandanusamaryllifolius). Selain itu
masyarakat juga menanam tanaman perdagangan seperti coklat (Theobromacacao), kopi (Coffea sp) dan cengkeh (Eugeniaaromatica) walaupun dalam
kuantitas yang kecil dan tidak terlalu berorientasi terhadap pasar.
Letak kebun umumnya jauh
dari pemukiman dan terletak di hutan sekunder. Pada umumnya masyarakat
melakukan kegiatan berkebun sebagai usaha sampingan selain pekerjaan utama baik
sebagai nelayan atau pegawai. Kegiatan berkebun dilakukan ketika cuaca tidak
mengijinkan untuk melaut dan hari-hari libur untuk pegawai. Hal ini dilakukan
karena hasil kebun hanya untuk memenuhi kebutuhan nabati. Sistem pertanian
masyarakat di Pulau Gag adalah pertanian menetap, berkaitan dengan sistem
pemilikan dan penguasaan tanah.
Di samping berkebun
masyarakat di Pulau Gag juga memproduksi sagu sebagai makanan pokok seperti
kebanyakan suku-suku di kawasan timur Indonesia umumnya. Pohon sagu (Metroxylonsagoo) tumbuh secara merata di
kawasan Pulau Gag terutama di daerah rawa, sehingga untuk memperoleh sagu
tidaklah sulit. Kegiatan meramu sagu dilakukan selain untuk dikonsumsi sendiri
juga dijual keluar Pulau Gag. Kegiatan ini biasanya dikerjakan dalam satu keluarga,
seperti halnya dalam berkebun atau membuat kopra. Distribusi peran dilakukan
berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki umumnya bertugas untuk memilih dan
menebang pohon sagu, sedangkan perempuan betugas meremas sagu. Kegiatan meramu sagu merupakan bagian dari kegiatan
yang sehari-hari dilakukan oleh masyarakat di samping mencari ikan, berkebun
dan membuat kopra.
Bagi masyarakat petani dan
peramu sagu, penetapan Kepulauan Raja Ampat sebagai kawasan konservasi,
menyebabkan terhentinya operasional perusahaan nikel di Pulau Gag. Banyaknya
karyawan yang di-PHK menyebabkan berkurangnya penduduk di Pulau Gag, karena
sebagian besar membawa pulang keluarganya. Hal ini berakibat pada semakin
sulitnya pemasaran hasil kebun dan sagu. Pasar, sebagai tempat bertemunya penjual
dan pembeli juga bubar, karena tidak ada pembeli lagi.
Salah satu mata pencaharian
masyarakat di Pulau Gag adalah membuat kopra, yaitu kelapa (Cocosnucifera) yang dikeringkan dengan
cara diasapi, karena banyaknya pohon kelapa yang tumbuh di hampir seluruh
daratan Pulau Gag. Kegiatan membuat kopra dilakukan di kebun yang letaknya
terpisah dan jauh dari pemukiman warga, sehingga umumnya masyarakat akan
membuat pondok berserta tungku pemasak kopra di tengah kebun serta menginap
berhari-hari di tempat tersebut.
Pekerjaan membuat kopra
dilakukan oleh suatu keluarga besar yang terdiri dari bapak, ibu dan anak-anak
yang sudah menikah. Pembagian kerja dilakukan berdasar jenis kelamin. Laki-laki
melakukan pekerjaan memetik kelapa dengan memanjat pohonnya dan menguliti sabut
kelapa, sedangkan kaum perempuan mengupas tempurung kelapa, mengumpulkan airnya
dan mengasapi daging buah di tungku yang sudah disediakan. Pekerjaan ini
umumnya dilakukan selama 2 – 3 minggu lalu tiba masa istirahat untuk memberi
kesempatan pohon kelapa berproduksi kembali. Sambil menunggu kelapa siap
dipetik, para pembuat kopra kembali menjalankan aktivitas di kebun, mencari
ikan dan hasil laut, meramu sagu dan lain-lain.
Bagi masyarakat pembuatan
kopra juga menambah penghasilan rumah tangga, selain dari usaha tani dan
mencari ikan. Kesulitannya adalah dalam hal pemasaran.
Pada umumnya masyarakat
memasarkan pada para pengepul yang ada di Pulau Gag, sehingga hanya memperoleh
untung sedikit. Dibandingkan jika langsung dibawa ke Sorong, untung yang diperoleh
lebih besar, namun harus mengeluarkan ongkos angkut yang lebih besar. Kesulitan
yang lain adalah jika cuaca hujan berhari-hari, maka pengeringan kelapa akan
terhambat.
Pemasaran hasil bumi Pulau
Gag selain lewat pemilik kios sebagai pengumpul lokal. Datangnya para pengumpul
dari luar Pulau Gag yang datang secara periodik baik dari Pulau Gebe, Ternate
maupun dari Bitung dengan menumpang kapal perintis yang masuk Pulau Gag setiap
3 minggu sekali. Demikian halnya pengumpul dari Sorong akan datang pada saat
kapal perintis tersebut kembali dari Sorong untuk melanjutkan rutenya kembali
ke Bitung. Aliran tata niaga hasil bumi yang berlangsung pada masyarakaKampung
Gambir dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar (Figure) 1. Alur Tata Niaga di Pulau Gag, Raja Ampat (Flow on Commerceat Gag Island,Raja Ampat)
3.4.2
Kebudayaan
Masyarakat
3.4.2.1 Suku
Suku yang mendiami Desa Gambir,
Pulau Gag adalah suku arfak.
3.4.2.2 Bahasa
Bahasa yang biasa digunakan adalah
bahasa Moi. Bahasa ini adalah bahasa yang digunakan oleh penduduk Desa
Gambir untuk berkomunikasi. Bahasa Moi yang digunakan adalah berasal dari
daratan besar sebelah barat wilayah Kepala Burung yang berbatasan langsung dengan
Selat Sele.
3.4.2.3 Rumah Adat
Rumah Adat Papua Barat Rumah adat
Mod Aki Aksa merupakan rumah tinggal bagi masyarakat suku Arfak pada masa silam
yang mendiami daerah sekitar pegunungan Arfak di kabupaten Manokwari, hingga
daerah sekitar teluk Bintuni. Rumah adat Papua Barat berstruktur panggung ini
hingga sekarang masih tetap digunakan sebagai rumah tinggal karena dianggap
lebih mudah dibuat sekaligus desainnya sangat cocok untuk bertahan di
lingkungan pegunungan Papua Barat yang bersuhu dingin.
Struktur Bangunan
Rumah Adat Mod Aki Aksa disebut mudah dibuat karena dalam proses pembangunannya
hanya diperlukan bahan material yang berasal dari alam. Tiang, dinding, lantai,
dan atap dari rumah ini memang tak sedikit pun menggunakan besi atau semen yang
harus dibeli di toko. Semua material murni bisa diambil dari alam sekitar
tempat tinggal penduduknya. Salah satu yang menjadi keunikan tersendiri dari
rumah adat ini terletak pada desain tiangnya. Rumah Mod Aki Aksa dibangun di
atas jajaran tiang-tiang kayu berukuran kecil yang sangat banyak karena
rata-rata dibuat dari kayu berdiameter 10 cm dengan jarak antar tiang hanya 30
cm. Saking banyaknya tiang, rumah inipun kerap disebut Rumah Berkaki Seribu
atau Rumah Seribu Tiang. Nama Mod Aki Aksa sebetulnya juga berasal dari sebutan
ini. Sebagian tiang pada rumah adat Papua Barat ini menyangga rangka lantai dan
sebagian lainnya yang sisi rumah menyangga rangka atap. Rangka lantai sendiri
dibuat dari anyaman rotan yang kemudian ditimpa papan kayu. Papan kayu disusun
sejajar sebagai lantai utama dan digunakan untuk pijakan saat penghuni
melaksanakan aktivitas di dalam rumah. Papan kayu juga digunakan untuk material
dinding bagian dalam. Papan untuk dinding tidak dipaku, melainkan hanya diikat
menggunakan serut rotan di kedua sisinya. Terkadang, papan kayu untuk dinding
juga dapat digantikan fungsinya oleh kulit kayu yang disusun vertikal. Untuk
atap, material yang sering digunakan adalah anyam daun alang-alang kering.
Kendati begitu, belakangan material atap seng juga kerap ditemukan. Atap rumah
adat Papua Barat ini memiliki desain unik. Di bagian depan terlihat lengkung,
sementara di bagian belakang tampak seperti pelana kuda. Meski hanya terbuat
dari daun alang-alang, atap rumah adat ini cukup awet dan baru diganti setelah beberapa
tahun saja. Rumah Adat Papua Barat (Mod Aki Aksa).
Rumah adat Mod Aki Aksa memiliki
tinggi sekitar 4-5 meter dan ukuran luas lantai 8 x 6 meter. Dalam ukuran rumah
sedemikian kecil, terdapat beberapa keunikan lain yang terdapat di rumah ini.
Pertama rumah ini tidak memiliki satu jendela pun di dindingnya. Ini
dimaksudkan untuk menjaga suhu dalam rumah agar tetap hangat saat malam hari.
Kedua, rumah ini hanya memiliki 2 pintu di bagian depan dan belakang rumah
sedangkan bagian dalamnya berupa 1 ruangan plong berukuran besar tanpa dinding
pemisah. Setiap kegiatan penghuninya dilakukan dalam ruangan besar ini
bersama-sama, entah itu untuk makan, tidur, beristirahat, atau bercengkrama
bersama keluarga saat malam hari. Di bagian depan dan belakang rumah terdapat
tangga yang terbuat dari rangka kayu yang diikat menggunakan rotan. Khusus
untuk bagian belakang, tangga hanya dipasang pada saat-saat tertentu saja. Pada
tingkat masyarakat adat tertentu (biasanya kepala suku) bagian tiang rumah
diukur sebagain dengan ukiran-ukiran berupa patung. Ukiran tersebut dianggap
dapat menjaga rumah dan pemiliknya dari segala bahaya.
3.4.2.4
Pakaian
Adat
a.
Koteka
Koteka
adalah sebuah penutup kemaluan sekaligus pakaian adat laki-laki Papua. Pakaian
ini berbentuk selongsong yang mengerucut ke bagian depannya. Koteka dibuat dari
bahan buah labu air tua yang dikeringkan dan bagian dalamnya (biji dan daging
buah) dibuang. Labu air yang tua dipilih karena cenderung lebih keras dan lebih
awet dibanding labu air muda, sementara pengeringan dilakukan agar koteka tidak
cepat membusuk. Pakaian Adat Papua Beberapa suku menyebut koteka dengan nama
hilon, harim, atau bobbe. Koteka digunakan sebagai pakaian sehari-hari maupun
sebagai pakaian saat melakukan upacara adat dengan cara diikat ke pinggang
menggunakan seutas tali sehingga ujung koteka mengacung ke atas. Khusus untuk
yang dikenakan saat acara adat, koteka yang digunakan biasanya berukuran
panjang serta dilengkapi dengan ukiran-ukiran etnik. Sementara untuk yang
dikenakan saat bekerja dan aktivitas sehari-hari koteka yang digunakan biasanya
lebih pendek.
b.
Rok
Rumbai
Rok rumbai adalah pakaian adat Papua Barat
untuk wanita berupa rok yang terbuat dari susunan daun sagu kering yang
digunakan untuk menutupi tubuh bagian bawah. Dalam beberapa kesempatan, selain
dikenakan wanita, rok rumbai juga bisa dikenakan para pria. Rok rumbai umumnya
akan dilengkapi dengan hiasan kepala dari bahan ijuk, bulu burung kasuari, atau
anyaman daun sagu.
c.
Perlengkapan
Pakaian Adat yang Lain
Selain
menggunakan koteka atau rok rumbai, orang-orang asli Papua Barat juga mengenal
aksesoris lain yang digunakan untuk mempercantik penampilannya saat mengenakan
pakaian adat. Misalnya manik-manik dari kerang, taring babi yang diletakkan
diantara lubang hidung, gigi anjing yang dikalungkan di leher, tas noken (tas
dari anyaman kulit kayu untuk wadah umbi-umbian atau sayuran yang dikenakan di
kepala), serta senjata tradisionalnya yakni berupa tombak, panah dan sumpit.
3.4.2.5
Tarian
Khas Daerah
Tarian khas daerah Papua Barat yakni
tari mambri. Gerakan tari ini sangat
dinamis dimana tari ini menggambarkan semangat para prajurit Papua Barat yang
ingin terjun ke medan perang dengan bekerja sama demi mencapai satu tujuan.
3.4.2.6
Alat
Musik Daerah
Alat musik Papua Barat adalah fuu dan
tifa. Fuu adalah alat musik tiup yang terbuat dari kayu yang dimainkan dengan
cara ditiup pada bagian yang berlubang atau terbuka. Selain digunakan untuk
memanggil penduduk, alat ini biasanya juga digunakan untuk mengiringi
tari-tarian khas Papua Barat. Tifa adalah alat musik yang menyerupai kendang
dan terbuat dari kayu yang dilubangi tengahnya. Tifa dimainkan dengan cara
dipukul. Alat musik ini terbuat dari sebatang kayu yang dikosongi atau
dihilangi isinya dan pada salah satu sisi ujungnya ditutupi. Biasanya
penutupnya terbuat dari kulit rusa yang telah dikeringkan untuk menghasilkan
suara yang bagus dan indah. Biasanya digunakan untuk mengiringi tari-tarian.
3.4.2.7 Makanan Khas
Papeda adalah makanan berupa bubur
sagu khas Papua, Papua Barat dan Maluku yang biasanya disajikan dengan ikan
tongkol atau mubara yang dibumbui dengan kunyit. Papeda berwarna putih dan
berterkstur lengket menyerupai lem dengan rasa yang tawar. Papeda merupakan
makanan yang kaya serat dan rendah kolesterol dan cukup bernutrisi.
3.5 Sarana dan Prasarana
3.5.1
Transportasi
Jarak
Pulau Gag dengan Kota Sorong 150 km dan hanya dapat ditempuh dengan
transportasi laut. Apabila menggunakan speed boat jarak tempuhnya kurang lebih
4 jam, dalam waktu 2 kali dalam sebulan biasanya ada speed boat milik
perusahaan PT. Gag Nikel yang melayari rute Sorong – Pulau Gag pulang pergi,
namun hanya untuk kalangan terbatas. Pengoperasian speedboat perusahaan
dilakukan untuk mendukung maintenance perusahaan
di pulau Gag selama keputusan terhadap status pulau Gag belum selesai.
Walaupun
secara operasional pertambangan, PT. Gag sudah tidak melakukan eksplorasi lagi,
namun keberadaannya di Pulau Gag masih ada sampai sekarang untuk melakukan
pengambilan sampel penelitian kandungan nikel. Jumlah karyawan yang ada pun
tidak sebanyak dulu lagi.
Sedangkan
apabila menggunakan kapal perintis dengan ongkos Rp 75.000,memerlukan waktu
satu hari satu malam, karena kapal harus singgah di beberapa tempat. Kapal
perintis dari Halmahera menuju Sorong ini biasanya akan lewat dan singgah di
Pulau Gag dalam waktu 3 minggu sekali. Sulitnya perhubungan dan tingkat
perekonomian yang rendah menyebabkan mobilitas penduduk tergolong rendah,
karena umumnya masyarakat jarang sekali bepergian walaupun dalam kurun waktu
satu tahun pun.
3.5.2
Komunikasi
Sarana
komunikasi yang menghubungkan Pulau Gag dengan dunia luar berupa telephon
satelit dan SSB milik PT. Gag Nikel. Sedangkan sarana informasi masyarakat
berupa radio dan Televisi yang hanya dimiliki beberapa orang warga (karyawan
perusahaan) karena selain harus memakai antena parabola juga ketersediaan
listrik yang sangat terbatas. Masyarakat menikmati listrik pada malam hari
antara pukul 18.00 – 00.00 WIT atas bantuan dari PT. Gag Nikel.
3.5.3
Fasilitas
Pelayanan Ekonomi dan Perdagangan
Perputaran uang di Pulau Gag
sangat rendah sekali. Tidak ada pasar dan hanya terdapat beberapa kios yang
menyediakan kebutuhan masyarakat. Pada umumnya masyarakat jarang sekali
memiliki uang tunai, sehingga untuk memperoleh barang-barang yang dibutuhkan
dari kios maka masyarakat akan berhutang dulu dan akan dibayar ketika
memperoleh hasil baik dari hasil melaut, berkebun, membuat kopra atau meramu
sagu.
Sebagian besar transaksi
jual beli yang dilakukan oleh masyarakat cenderung menggunakan sistem barter
dengan standar harga pasaran, karena kebetulan para pemilik kios juga merupakan
pedagang pengumpul/ pengepul (collector).
Hasil bumi yang dibarterkan pada pemilik kios antara lain adalah kopra,
cengkeh, kakao, sagu, ikan asin, teri pur/kering, teripang (Seacucumber). Hasil bumi tersebut adalah
sebagai penukar barang-barang kelontong maupun kebutuhan hidup sehari-hari yang
sebelumnya telah diambil masyarakat antara lain beras, gula, garam, minyak
goreng, rokok, dan lain-lain.
3.5.4
Fasilitas
Pelayanan Sosial
3.5.4.1 Kesehatan
Kunjungan dokter ke
kampung-kampung di Kabupaten Raja Ampat sudah terjadwalkan. Setiap bulan dokter
berkeliling untuk melakukan pengobatan. Waktu kunjungan pelayanan kesehatan
hanya beberapa jam karena harus menjangkau beberapa kampung sekaligus. Namun
pelayanan kesehatan disesuaikan dengan jumlah pasien yang ada dan yang
membutuhkan pertolongan dari dokter.
Untuk Distrik Waigeo
Selatan, kunjungan dokter hanya dilakukan ke kampung Yenbekwan dan kampung
Yenbuba. Kampung Gambir sama sekali tidak tersentuh akan layanan kesehatan. Ibu-ibu
di kampung Gambir yang melahirkan ditolong oleh “dukun beranak” yang tidak
terlatih. Dengan adanya dukun beranak tersebut ibu-ibu yang melahirkan bisa
tertolong walaupun dengan fasilitas penunjang yang sangat terbatas.
Penyakit yang dominan diderita
oleh masyarakat kampung Gambir adalah penyakit malaria, tuberkulosis paru (TB
paru), infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan penyakit kulit. Jenis
penyakit seperti TB paru dan ISPA memang lebih disebabkan karena faktor suhu
udara yang dingin di kampung. Selain itu karena nelayan di kampung Gambir
sering melaut lebih dari 8 jam sehingga berpotensi untuk terkena penyakit
tersebut.
3.5.4.2 Pendidikan
Di Desa Gambir terdapat
sebuah SD. Sedangkan untuk SMP dan SMA bagi yang ingin melanjutkan harus menempuh
perjalanan ke Saonek, ibukota Distrik Waigeo Selatan. Untuk masyarakat yang
ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi harus menempuhnya di luar
daerah. Untuk fasilitas yang terdapat di sekolah-sekolah tersebut masih
menggunakan papan tulis dari papan kayu dengan alat tulis berupa kapur tulis.
Tenaga pengajarpun juga masih berasal dari penduduk sekitaran Papua Barat. Akan
tetapi setelah adanya program pemerintah GGD (Guru Garis Depan) kondisi
pendidikan di Desa Gambir perlahan mulai membaik dengan adanya tenaga
kependidikan yang jauh lebih baik.
3.6
Potensi
Wilayah
3.6.1
Bahari
Pulau Gag
memiliki potensi sumberdaya yang sangat tinggi, meliputi sumberdaya mineral,
perikanan, ekosistem mangrove, terumbu karang, rumput laut, dan biota laut
lainnya. Terumbu karang banyak ditemukan terutama di perairan tropis dan
subtropis, dengan sebaran vertikal dari bagian surut terendah sampai ke
kedalaman kurang lebih 30 meter. Di dalam ekosistem terumbu karang pada umumnya
yang merupakan biota dominan ialah karang batu. Dengan kerangka yang keras dan
bentuk serta ukurannya yang beraneka ragam, karang batu dipakai sebagai tempat
hidup, berlinding dan mencari makan oleh berbagai jenis biota lain seperti Crustacea, Molusca, Echinodermata, Polichaeta. Terumbu karang di Pulau Gag
tersebar luas hampir di seluruh kepulauan, namun sebaran terumbu karang
terbesar terdapat di Distrik Waigeo Utara, Waigeo Selatan dan Misool. Di
ekosistem terumbu karang Pulau Gag banyak ditemui ikan karang, jenis-jenis ikan
yang banyak ditemukan di kawasan ini antara lain ikan ekor kuning,
pisang-pisang, napoleon, kakatua, kerapau, kakap dan baronang. Sedangkan untuk
Crustacea yang banyak ditemukan adalah jenis Penaidae dan kepiting bakau (Scylia).
Penyebaranya cukup besar terutama di kawasan Selat Lele, Seget, Saigun,
Teminabuan, dan Inanwatan. Selain itu Pulau Gag juga mempunyai kenampakan alam
unik dan pemandangan yang cantik di sekitar lautan.
3.6.2
Pertambangan
Eksploitasi
nikel di Pulau Gag telah ada sejak zaman kolonial Belanda. Pada saat Belanda
meninggalkan Indonesia, maka Irian Jaya kembali ke pangkuan RI dan terjadinya
nasionalisasi perusahaan milik Belanda pada tahun 1972. Penambangan nikel
dilanjutkan oleh PT. Pasifik Nikel (perusahaan PMA dari AS) sampai dengan tahun
1981. Selanjutnya, pertambangan nikel dikelola oleh PT. Aneka Tambang (salah
satu BUMN) yang kemudian melakukan kontrak kerjasama dengan PT. BHP Biliton
(perusahaan PMA dari Australia) pada tahun 1995 dengan pembagian saham 3 : 1,
yaitu 75% dimiliki oleh PT. BHP Biliton dan 25% dimiliki oleh PT. Aneka
Tambang.
Dalam
perkembangan selanjutnya, PT. BHP Biliton menggandeng partner kerja Falcon
Bridge (perusahaan penambangan PMA asal Kanada) dengan kepemilikan saham 37%
dari seluruh proyek nikel di Pulau Gag. Manajemen dan operasional pertambangan
nikel di Pulau Gag selanjutnya dikelola oleh PT. Gag Nikel yang melakukan
eksplorasi dan pengambilan sampel.
Pada tahun
1999 PT. Gag Nikel mulai menghentikan kegiatan eksplorasinya bersamaan dengan
keluarnya UU No 41 Tahun 1999 dan isu penetapan Pulau Gag sebagai hutan
lindung. Walaupun eksplorasi pertambangan sudah tidak dilakukan, tetapi
keberadaan perusahaan masih ada dan hanya melakukan kegiatan pengambilan
sampel. Hal ini berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi Pulau Gag, karena
terhentinya operasional pertambangan menyebabkan PHK pada sejumlah karyawannya,
sehingga menambah pengangguran dan mengurangi perputaran uang tunai yang ada di
Pulau Gag.
3.7 Masalah dan Kendala
3.7.1
Rendahnya
Tingkat Pendidikan
Rendahnya
tingkat pendidikan masyarakat di Pulau Gag menyebabkan kurangnya pemahaman
tentang makna konservasi sumber daya alam di masa mendatang. Selain itu dengan
pendidikan yang relatif rendah dan kurangnya ketrampilan menyebabkan masyarakat
banyak berharap akan keberadaan lapangan kerja yang dibuka perusahaan di sektor
pertambangan tanpa memahami dampak negatifnya secara ekologis terhadap
kehidupan generasi mendatang.
3.7.2
Isolasi
Geografis
Jarak
Pulau Gag dengan Kota Sorong 150 km dan hanya dapat ditempuh dengan
transportasi laut. Apabila menggunakan speed boat jarak tempuhnya kurang lebih
4 jam, dalam waktu 2 kali dalam sebulan biasanya ada speed boat milik
perusahaan PT. Gag Nikel yang melayari rute Sorong – Pulau Gag pulang pergi,
namun hanya untuk kalangan terbatas. Pengoperasian speedboat perusahaan
dilakukan untuk mendukung maintenance perusahaan
di pulau Gag selama keputusan terhadap status pulau Gag belum selesai.
Walaupun
secara operasional pertambangan, PT. Gag sudah tidak melakukan eksplorasi lagi,
namun keberadaannya di Pulau Gag masih ada sampai sekarang untuk melakukan
pengambilan sampel penelitian kandungan nikel. Jumlah karyawan yang ada pun
tidak sebanyak dulu lagi.
Sedangkan apabila menggunakan kapal perintis dengan ongkos
Rp 75.000,memerlukan waktu satu hari satu malam, karena kapal harus singgah di
beberapa tempat. Kapal perintis dari Halmahera menuju Sorong ini biasanya akan
lewat dan singgah di Pulau Gag dalam waktu 3 minggu sekali. Sulitnya
perhubungan dan tingkat perekonomian yang rendah menyebabkan mobilitas penduduk
tergolong rendah, karena umumnya masyarakat jarang sekali bepergian walaupun
dalam kurun waktu satu tahun pun.
3.7.3
Rendahnya
Tingkat Perekonomian
Perputaran
uang di Pulau Gag sangat rendah sekali. Tidak ada pasar dan hanya terdapat
beberapa kios yang menyediakan kebutuhan masyarakat. Pada umumnya masyarakat
jarang sekali memiliki uang tunai, sehingga untuk memperoleh barang-barang yang
dibutuhkan dari kios maka masyarakat akan berhutang dulu dan akan dibayar
ketika memperoleh hasil baik dari hasil melaut, berkebun, membuat kopra atau
meramu sagu.
Sebagian
besar transaksi jual beli yang dilakukan oleh masyarakat cenderung menggunakan
sistem barter dengan standar harga pasaran, karena kebetulan para pemilik kios
juga merupakan pedagang pengumpul/ pengepul (collector). Hasil bumi yang dibarterkan pada pemilik kios antara
lain adalah kopra, cengkeh, kakao, sagu, ikan asin, teri pur/kering, teripang (Seacucumber). Hasil bumi tersebut adalah
sebagai penukar barang-barang kelontong maupun kebutuhan hidup sehari-hari yang
sebelumnya telah diambil masyarakat antara lain beras, gula, garam, minyak
goreng, rokok, dan lain-lain.
3.8 Program Pemerintah
3.8.1
Penetapan
Pulau Gag Sebagai Hutan Lindung
Pulau Gag
termasuk dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Raja Ampat, Provinsi Papua Barat.
Wilayah ini sebagian besar adalah kawasan konservasi yang terdiri atas
pulau-pulau. Kementerian Kehutanan menginginkan agar Pulau Gag tetap dijadikan
hutan lindung. Di pihak lain Kementerian Pertambangan menginginkan eksploitasi
terhadap potensi nikel yang terdapat di pulau tersebut. Pada akhirnya
perusahaan BHP Biliton sebagai perusahaan tambang mengumumkan penghentian
pertambangan nikel di Pulau Gag.
Ada dua alasan
pokok Kementerian Kehutanan didukung oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) tidak setuju dengan rencana pertambangan di Pulau Gag sebagai berikut :
1. Kawasan laut Raja Ampat merupakan
kawasan laut yang menempati urutan pertama dalam usulan oleh PBB (UNESCO)
sebagai kawasan warisan dunia (World
Heritage) karena mempunyai kekayaan hayati laut dan menyimpan 64% kekayaan
terumbu karang dunia (Mc Kenna et al., 2002)
2. Pertambangan nikel di Pulau Gag akan
dilakukan melalui metode pembuangan tailing ke laut, STD (Submarine Tailings Disposal). Sistem ini menyebabkan kekhawatiran
para pemerhati lingkungan hidup karena limbah tailing mengandung bahan beracun
dan berbahaya (B3) yang dapat memusnahkan kehidupan laut bahkan mengancam
keselamatan manusia yang mengonsumsi ikan yang terkontaminasi limbah tailing
(Minergy News, 2001)
Sebagian masyarakat Pulau Gag dengan
kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang sedemikian rupa mulai mempertanyakan
mengapa pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan menetapkan Pulau Gag
sebagai kawasan hutan lindung tanpa ada penelitian dan pengkajian terlebih
dahulu. Sepengetahuan masyarakat yang sudah bertahun-tahun secara turun-temurun
bermukim di kawasan ini beranggapan bahwa tidak ada yang istimewa pada kawasan ini
untuk dijadikan kawasan lindung yang dalam pengetahuan secara awam merupakan
kawasan yang harus dilestarikan keberadaan flora dan fauna yang langka.
Sementara itu Pemerintah Kabupaten Raja Ampat ingin memberikan ijin penambangan
karena dampaknya dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Berdasarkan SK Menhut No. 81/Kpts-II/1993
tertanggal 16 Februari 1993, Kepulauan Raja Ampat adalah salah satu Suaka
Margasatwa Laut (Marine Wildlife
Sanctuary). Ini berarti bahwa Pulau Gag tidak dimungkinkan untuk dieksplorasi
maupun dieksploitasi sebagaimana UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa
Suaka Margasatwa merupakan kawasan konservasi yang hanya dapat digunakan untuk
kepentingan pendidikan dan penelitian.
Penambangan nikel di Pulau Gag
dikhawatirkan akan mengancam keanekaragaman hayati laut di Kepulauan Raja Ampat
karena kegiatan tersebut akan menimbulkan dampak ekologis negatif pada masa
mendatang. Pembuangan limbah (tailing)
yang mengandung logam berat (Mercuri dan Sianida) ke laut akan merusak dan mencemari
biota laut, sehingga akan merusak ekosistem bawah laut. Hal ini juga berbahaya
pada masyarakat yang mengonsumsi hasil laut yang sudah tercemar oleh logam
berat tersebut (Jatam, 2006).
Berhentinya penambangan nikel di Pulau
Gag menyebabkan hilangnya impian masyarakat setempat yang berharap adanya
peningkatan taraf hidup dengan beroperasinya perusahaan tambang. Keberadaan
perusahaan akan meningkatkan perekonomian daerah dengan terbukanya isolasi
kawasan, mempermudah pemasaran hasil bumi, pembukaan kesempatan kerja dan
membuka kesempatan berusaha.
3.8.2
Program Guru Garis Depan
Pemerintah
sangat berkomitmen dalam upaya mengatasi masalah pendidikan di Indonesia.
Program Guru Garis Depan (GGD) adalah salah satu upaya pemerintah melalui
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta pemerintah daerah dalam
memeratakan pelayanan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia terutama dalam
hal pendistribusian tenaga pendidik atau guru. Salah satu lokasi yang menjadi
target pemerintah dalam program ini adalah di Desa Gambir, Pulau Gag, Kabupaten
Raja Ampat, Provinsi Papua Barat.
3.8.3
Penetapan
Bahan Bakar Minyak Satu Harga
Pemerintah
berupaya memperbaiki kebijakan bahan bakar minyak satu harga di wilayah
Indonesia Timur. Pada Oktober 2016, presiden Joko Widodo menerapkan kebijakan
bahan bakar minyak (BBM) satu harga di Papua dan Papua Barat. Tujuan
diterapkannya kebijakan itu ialah agar semua masyarakat di Indonesia Timur yang
sebelumnya membeli dengan harga mahal bisa merasakan harga yang lebih murah.
Sebelum diterapkannya kebijakan ini, di wilayah Papua dan Papua Barat
masyarakat harus membeli bahan bakar minyak (BBM) jenis premium seharga Rp
50.000,00 per liter hingga Rp 100.000,00 per liter. Kini masyarakat dapat
membeli bahan bakar minyak (BBM) untuk setiap liternya; minyak tanah Rp
2.500,00, solar Rp 5.150,00 dan premium Rp 6.450,00. Pemerintah dalam hal ini
bekerja sama dengan Pertamina menginstruksikan melakukan subsidi silang untuk
menutupi potensi kerugian yang diakibatkan kebijakan BBM satu harga.
3.9 Solusi
Dengan berbagai
permasalahan kompleks yang terjadi di Pulau Gag, maka solusi yang seharusnya
dilakukan untuk menanganinya adalah :
1.
Mendistribusikan
bantuan listrik ke Desa Gambir agar masyarakat dapat menikmati fasilitas yang
memang seharusnya didapatkan sebagai warga negara tanpa harus dibatasi oleh
waktu penggunaan.
2.
Mendistribusikan
tenaga kesehatan untuk meminimalisir tingkat penderita penyakit TBC dan
sebagainya di Desa Gambir. Adanya petugas kesehatan juga dapat berkontribusi
dalam meningkatkan kualitas kesehatan anak bangsa yang akan menjadi generasi
penerus di Indonesia.
3.
Menambah
armada transportasi. Pulau Gag merupakan suatu daerah yang memiliki potensi
wisata bahari yang luar biasa. Apabila akses ke pulau ini telah dipermudah,
maka akan membuka peluang pekerjaan dan memperbaiki perekonomian masyarakat
dengan adanya para wisatawan yang berkunjung.
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, maka
dapat disimpulkan :
1.
Pulau
Gag merupakan salah satu pulau yang memenuhi kriteria 3T yang terletak di
Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat.
2.
Awal
mula nama Gag berasal dari banyaknya teripang yang ditemukan di pulau Gag.
3.
Kondisi
ekonomi masyarakat Pulau Gag masih di bawah standar karena pekerjaan yang tidak
tetap.
4.
Kondisi
sosial masyarakatnya layaknya seperti masyarakat Indonesia pada umumnya yang
memiliki adat dan kebudayaan.
5.
Di
balik ketertinggalannya, Pulau Gag memiliki potensi alam bahari dan tambang
nikel yang belum dikelola dengan baik.
6.
Pulau
Gag merupakan pulau dengan kondisi alam, budaya, ekonomi yang sebenarnya
berpotensi dalam membantu kemakmuran Indonesia jika dapat dikelola dengan baik.
Sumberdaya yang ada di Pulau Gag belum dapat dimaksimumkan karena adanya
kendala-kendala, baik dari segi kualitas manusianya maupun letak geografis
wilayahnya.
7.
Pemerintah
telah berupaya untuk menangani permasalahan-permasalahan yang ada di Pulau Gag
meskipun belum menyeluruh.
8.
Diperlukan
adanya bantuan listrik,tenaga kesehatan dan armada transportasi untuk
memudahkan kegiatan masyarakat.
4.2
Saran
Kategori usia penduduk Pulau
Gag belum dapat dijelaskan secara rinci. Hal ini disebabkan banyak masyarakat
yang tidak menghafal tahun kelahirannya. Sebaiknya pada makalah selanjutnya
dapat diidentifikasi kira-kira usia tiap individu yang mendiami Pulau Gag.
DAFTAR PUSTAKA
Coremap dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Raja Ampat. 2005. Atlas
Sumberdoyo Pesisir dan Lout Kepulauon Raja Ampot (Distrik Woigeo
Borot dan Woigeo Seioton). Kerja Sama Antara Coremap tahap II, Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Raja Ampat dengan PT. Edecon Prima Mandiri.
2005. Raja Ampat.
Hastanti, Baharinawati W, dan R. Gatot Nugroho. Kondisi
Sosial Ekonomi dan
Budaya Masyarakat Sekitar Kawasan Konservasi: Studi
Kasus Pulau Gag, Raja Ajmpat, Papua Barat. Jurnal Penelitian Kehutanan
Wallacea Vol.1 No.2, Desember 2012 : 149-164.
Kementerian Kehutanan, 1999. UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan.
http://www.dephut.go.id diakses pada
hari Jumat, 14 April 2017 pukul 07.00 WIB
LAMPIRAN
Salam mb Ria, saya sedikit mengoreksi tulisannya, bahwa Suku yang mendiami pulau gag adalah Suku Gebe dan bahasa yang digunakan adalah Bahasa Gebe. Bukan Suku arfak dan juga bukan bahasa moi..
BalasHapusSiap terimakasih. Saya dapat info tsb dari beberapa sumber & hasilnya berbeda2 sehingga yg saya masukkan salah satunya
Hapus