Kamis, 11 Mei 2017

PULAU GAG, MUTIARA PAPUA BARAT YANG TERABAIKAN



MAKALAH
PULAU TERLUAR, TERDEPAN DAN TERTINGGAL (3T)
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
PROVINSI PAPUA BARAT
Pulau Gag, Mutiara Papua Barat yang Terabaikan
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Kewarganegaraan
Dosen Pengampu      : Prof. Dr. Ir. H. Syarif Imam Hidayat, MP


Oleh :
Ria Misdian Syahri
1624010034
Kelas A

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
SURABAYA
MEI, 2017











MAKALAH
PULAU TERLUAR, TERDEPAN DAN TERTINGGAL (3T)
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
PROVINSI PAPUA BARAT
Pulau Gag, Mutiara Papua Barat yang Terabaikan
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Kewarganegaraan
Dosen Pengampu      : Prof. Dr. Ir. H. Syarif Imam Hidayat, MP


Oleh :
Ria Misdian Syahri
1624010034
Kelas A

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
SURABAYA
MEI, 2017
KATA PENGANTAR

            Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga diberikan kesempatan dan kesehatan untuk dapat menyelesaikan tugas terstruktur ini. Tujuan penulisan tugas terstruktur ini untuk memenuhi syarat kelengkapan tugas Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Kewarganegaraan semester II pada Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Judul yang dipilih dalam tugas ini adalah “Pulau Gag, Mutiara Papua Barat yang Terabaikan”.
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada:
1.
Bapak Prof. Dr. Ir. H. Syarif Imam Hidayat, MP selaku dosen pengampu Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Kewarganegaraan yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyelesaian tugas;
2.
Orang tua yang telah memberikan doa, dukungan dan semangat;
3.
Baharinawati W. Hastanti dan R. Gatot Nugroho Triantoro atas bantuan informasi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Pulau Gag dalam jurnalnya yang berjudul “Kondisi Sosial Ekonomi Dan Budaya Masyarakat Sekitar Kawasan Konservasi : Studi Kasus Di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat (Social Economic And Culture Conditions Of Community Around Conservation Area: Case Study At Gag Island, Raja Ampat, West Papua);
4.
Teman-teman Program Studi Agribisnis angkatan 2016 atas diskusi, bantuan, semangat, dukungan dan persahabatan;
5.
Serta semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu atas dukungannya selama ini.

Semoga tugas terstruktur ini bermanfaat.




Surabaya, Mei 2017

Ria Misdian Syahri
 
 





DAFTAR ISI

Halaman Judul
2
Kata Pengantar
3
Daftar Isi
4
BAB I PENDAHULUAN


1.1
Latar Belakang
6

1.2
Rumusan Masalah
6

1.3
Tujuan
7




BAB II LANDASAN TEORI


2.1
Pulau
8

2.2
Pulau Terluar, Terdepan dan Tertinggal (3T)
8




BAB III PEMBAHASAN


3.1
Letak Geografis
10

3.2
Sejarah
10

3.3
Demografis dan Kependudukan



3.3.1
Jumlah dan Sebaran Penduduk
11


3.3.2
Tingkat Pendidikan
12


3.3.3
Agama
12


3.3.4
Kepemilikan, Penguasaan Tanah dan Pemanfaatan Lahan
13

3.4
Sosial Ekonomi Penduduk



3.4.1
Mata Pencaharian dan Ekonomi Penduduk
14


3.4.2
Kebudayaan Masyarakat
19



3.4.2.1
Suku




3.4.2.2
Bahasa




3.4.2.3
Rumah Adat
19



3.4.2.4
Pakaian Adat
21



3.4.2.5
Tari Khas Daerah
22



3.4.2.6
Alat Musik Daerah
23



3.4.2.7
Makanan Khas

23

3.5
Sarana dan Prasarana



3.5.1
Transportasi
23


3.5.2
Komunikasi
24


3.5.3
Fasilitas Ekonomi dan Perdagangan
24


3.5.4
Fasilitas Pelayanan Sosial
25

3.6
Potensi Wilayah



3.6.1
Bahari
26


3.6.2
Pertambangan
27

3.7
Masalah dan Kendala
28

3.8
Program Pemerintah
29

3.9
Solusi
32




BAB IV PENUTUP


4.1
Kesimpulan
34

4.2
Saran
34
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
























BAB I
PENDAHULUAN

1.1          Latar Belakang
Indonesia adalah suatu negara yang berada di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan data Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia pada tahun 2004, di Indonesia terdapat 17.504 pulau. Di antara pulau-pulau tersebut 7.870 telah memiliki nama dan 9.634 belum memiliki nama. Fakta juga menunjukkan bahwasanya dua per tiga (2/3) dari keseluruhan wilayah Indonesia merupakan kawasan laut. Sebagai bangsa bahari masyarakat harus memiliki ilmu dan pengetahuan mengenai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang merupakan bagian penting dari negara kepulauan ini.
Dalam Peraturan Presiden No. 78/2005 yang kini diperkuat dengan Undang-undang No. 27/2007 disebutkan bahwa Indonesia memiliki 92 pulau kecil yang strategis secara posisi maupun ekonomi. Sementara itu akses terhadap informasi terutama menyangkut posisi dan lokasi pulau-pulau kecil tersebut kurang memadai. Pembangunan dan pengusahaan tentu saja sulit dilakukan jika ternyata tidak terjadi pemahaman yang benar tentang posisi dan kondisi pulau-pulau kecil yang dimaksud.
Kondisi politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan (POLEKSOSBUDHANKAM) yang berbeda-beda antara satu pulau dengan pulau lain berpotensi terhadap perpecahan bangsa, terutama untuk pulau kecil dan pulau terluar, terdepan dan tertinggal (3T). Pulau Gag merupakan salah satu pulau kecil yang juga masuk dalam kategori pulau terluar, terdepan dan tertinggal (3T).
Berdasarkan  latar belakang tersebut, maka perlu dipelajari kondisi masyarakat di Pulau Gag yang merupakan pulau terluar, terdepan dan tertinggal (3T).

1.2          Rumusan Masalah
Berdasarkan judul di atas, maka rumusan masalahnya yakni :
1.    Bagaimana letak, sejarah, demografi penduduk, sosial ekonomi dan potensi wilayah Pulau Gag ?
2.    Permasalahan apa saja yang dihadapi oleh masyarakat di Pulau Gag
3.    Program apa saja yang telah dilaksanakan oleh pemerintah Republik Indonesia dalam menangani permasalahan di Pulau Gag?
4.    Solusi dalam menangani permasalahan di Pulau Gag yang belum teratasi

1.3          Tujuan
1.    Untuk mengetahui letak, sejarah, demografi penduduk, sosial ekonomi dan potensi wilayah Pulau Gag
2.    Untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat di Pulau Gag
3.    Untuk mengetahui program yang telah dilaksanakan oleh pemerintah Republik Indonesia dalam menangani permasalahan di Pulau Gag
4.    Untuk mengetahui solusi dalam menangani permasalahan di Pulau Gag yang belum teratasi





















BAB II
LANDASAN TEORI

2.1          Pulau
            Pulau adalah tanah (daratan) yang dikelilingi air (di laut, sungai, danau) (Poerwodarminto, 1982). Pulau (UNCLOS, 1982 pasal 121) adalah massa daratan yang terbentuk secara alamiah, dikelilingi air dan selalu berada di atas permukaan pasang tertinggi. Mangrove, gosong, batu tidak dapat dikategorikan sebagai pulau karena tidak memenuhi kriteria seperti yang dikemukakan di atas. Ukuran besar dan kecil bukan merupakan kriteria sebuah pulau. Dengan demikian pulau mempunyai ukuran yang sangat bervariasi, mulai dari sekitar 1 hektar hingga Borneo sebesar 743.330 hektar.
           
2.2          Pulau Terluar, Terdepan dan Tertinggal (3T)
Dalam dokumen Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (STRANAS PPDT) seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 07/PER/M-PDT/III/2007, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan daerah tertinggal adalah daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional. Pengertian ini memiliki tiga kata kunci yang perlu diperhatikan. Pertama, daerah kabupaten bukan daerah yang bernomenklatur kota. Kedua, masyarakat dan wilayah, dua aspek ini dirinci ke dalam enam kriteria poko ketertinggalan, yaitu : perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan lokal (celah fiskal), aksesibilitas, dan karakteristik daerah. Ketiga, relatif dalam skala nasional, daerah yang tergolong dalam kumpulan daerah 3T merupakan daerah yang telah didata dan diperbandingkan secara relatif dengan seluruh daerah kabupaten/ kota yang ada di Indonesia (Kompas, 5 Juli 2011 “Membangun Asa di Daerah Tertinggal”)
Daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal, sebuah istilah yang seakan mendiskriminasikan daerah-daerah yang belum mengalami kemajuan justru harus dipikul. Pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah juga belum secara merata mengena daerah-daerah 3T ini. Sekalipun dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) telah ditetapkan sebelas prioritas nasional yang salah satunya adalah “Daerah Terluar, Terdepan, Tertinggal, dan Pasca Konflik”. Namun hingga saat ini pembangunan hanya terpusat di kota-kota besar saja. Hal ini sangat bertolak belakang dengan amanat pembangunan nasional, secara khusus pembangunan manusia Indonesia yang secara utuh dilaksanakan di seluruh tanah air. Kesenjangan pembangunan itu masih cukup tinggi, baik pembangunan infrastruktur, pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan.


























BAB III
PEMBAHASAN

3.1  Letak
Pulau Gag berada pada koordinat 2o25’ LU-4o25’ LS dan 130o55’ BB-132o55’ BT. Pulau Gag merupakan salah satu pulau pada gugusan kepulauan Raja Ampat dan terletak di bagian barat kepala burung Irian Jaya. Pulau Gag memiliki luas sekitar 6500 hektar. Pulau Gag terletak 160 km arah barat laut Kota Sorong dan kira-kira 2.400 km arah timur Jakarta.
Pulau Gag memiliki letak administratif di Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Pulau ini memiliki topografi alam yang berbukit-bukit. Puncak tertinggi yang dimiliki oleh pulau ini berada pada ketinggian 350 meter di atas permukaan laut (mdpl), tepatnya berada di Gunung Susu.

3.2  Sejarah
Nama Pulau Gag berdasarkan mitologi masyarakat setempat berasal dari kata gag yang berarti teripang (Seacucumber) dalam Bahasa Weda, salah satu bahasa yang digunakan oleh penduduk di Kepulauan Halmahera. Hal ini disebabkan karena pendatang pertama yang masuk ke daerah ini melihat begitu banyaknya teripang di perairan Pulau Gag. Pulau Gag sebelumnya merupakan pulau yang tidak berpenghuni dan hanya digunakan untuk berkebun. Penduduk pertama Pulau Gag berasal dari Pulau Gebe yang awalnya datang untuk mencari dan membuka lahan pertanian (berkebun).
Sebelumnya terdapat perkampungan kuno yang disebut Kampung Lama yaitu perkampungan yang ada pada masa awal kedatangan penduduk pertama. Kampung tersebut sekarang sudah ditinggalkan penduduk karena sebagian besar penduduk memilih bermukim di Kampung Gambir (Kampung Baru) yang lokasinya lebih strategis karena berdekatan dengan komplek perusahaan, sehingga fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat lebih dekat seperti dermaga, fasitas listrik dan air, sekolah dan kesehatan.
Asal mula berkembangnya pemukiman di Pulau Gag dimulai pada saat kemenangan pasukan Trikora yang berdatangan sekembalinya Irian Jaya ke pangkuan NKRI pada tahun 1963. Kata “Gambir” berasal dari kata gembira dalam Bahasa Indonesia sebagai ungkapan rasa suka cita atas kembalinya Pulau Gag sebagai bagian wilayah Irian Jaya kepada NKRI. Kedatangan pasukan Trikora di Pulau Gag juga diikuti dengan kedatangan pendatang yang ingin mengadu nasib bekerja di pertambangan nikel.

3.3      Demografis dan Kependudukan
3.3.1     Jumlah dan Sebaran Penduduk
Jumlah penduduk (Tahun 2009) di Kampung Gambir seluruhnya adalah 633 jiwa termasuk dalam 133 Kepala Keluarga (KK), terdiri dari 345 orang pria dan 288 orang wanita. Perbandingan antara jumlah penduduk wanita dan pria adalah 83,48%, sehingga jumlah penduduk pria lebih banyak dari wanita. Penduduk Kampung Gambir tersebar dalam empat wilayah Rukun Tetangga (RT), dengan jumlah penduduk terbanyak bermukim di RT III, yaitu 201 orang. Apabila ditinjau dari luas Pulau Gag yang 7.727 hektar, maka kepadatan penduduk adalah 0,08 orang per hektar, sehingga daerah ini termasuk dalam tingkat kepadatan yang sangat rendah.
Di bawah ini adalah tabel sebaran penduduk di Pulau Gag, Kabupaten Kepulauan Raja Ampat.
Tabel (Table) 1. Jumlah dan Sebaran Penduduk di Pulau Gag 2009 (Numberand Distribution of Population at Gag Island)
 



Jumlah penduduk yang mendiami suatu wilayah akan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat apabila dihubungkan dengan jumlah pendapatan masyarakat. Semakin besar jumlah penduduk yang mendiami suatu wilayah maka akan semakin besar beban tanggungan ekonomi masyarakat. Apalagi jika sebagian besar penduduk yang berusia produktif ternyata tidak bekerja atau tidak mempunyai penghasilan. Jumlah pendapatan suatu masyarakat di suatu wilayah akan mempengaruhi daya beli, perputaran uang dan tingkat inflasi di derah tersebut.

3.3.2     Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan penduduk di Kampung Gambir tergolong rendah, sebagian besar berpendidikan Sekolah Dasar (SD) berjumlah 293 orang (46,29%)dan tidak bersekolah sebanyak 159 orang (25,12%). Hal itu disebabkan terbatasnya akses pendidikan yang dapat dienyam penduduk. Pendidikan menjadi suatu hal yang mahal karena pendidikan yang dapat dienyam di Pulau Gag hanya sampai pada tingkat Sekolah Dasar (SD). Untuk untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, masyarakat harus mengeluarkan biaya yang besar karena harus melanjutkannya di luar Pulau Gag. Tingkat pendidikan penduduk di Pulau Gag disajikan pada Tabel 2. :
Tabel (Table) 2. Tingkat Pendidikan Penduduk di Pulau Gag 2009 (Level education of Population at Gag Island)


 









3.3.3     Agama
Sebagian besar penduduk yang mendiami Pulau Gag memeluk agama Islam yaitu sebanyak 611 orang (96,52%), sedangkan sisanya memeluk agama Kristen (3,48%). Fasilitas keagamaan yang ada berupa satu buah masjid dan satu buah gereja. Agama turut berperan serta mempengaruhi tata kehidupan masyarakat. Pemanfaatan sumber daya hutan di Pulau Gag juga dipengaruhi oleh agama yang dianut. Pada umumnya masyarakat lebih banyak memenuhi kebutuhan protein dari hasil laut, sehingga tidak mengganggu kehidupan jenis reptil maupun amphibi, karena dalam ajaran agama Islam diharamkan untuk dimakan atau dikonsumsi. Walaupun sebagian besar masyarakat di Pulau Gag adalah pemeluk agama Islam, namun masih juga menganut kepercayaan terhadap hal-hal yang magies. Ketergantungan masyarakat yang kuat terhadap alam menyebabkan masyarakat percaya adanya kekuatan-kekuatan lain di luar Tuhan yang lebih kecil namun berpengaruh terhadap kehidupan. Oleh sebab itu ritual-ritual adat masih kuat dilakukan oleh masyarakat untuk memperoleh dukungan keselamatan dalam kehidupan sehari-hari.

3.3.4     Kepemilikan, Penguasaan Tanah dan Pemanfaatan Lahan
Pengelompokan sosial yang terdapat di Pulau Gag berdasarkan kekuasaan atas tanah. Kepemilikan dan penguasaan tanah umumnya didominasi oleh penduduk asli Pulau Gag yang terdiri dari 6 marga (klen/keret) yaitu : Umsipyat, Umsandim, Magtublo, Magimai, Magbow dan Umlil. Kepemilikan tanah di Pulau Gag bersifat turun temurun dan tidak diperjual belikan.
Pendistribusian hak atas tanah akan diberikan pada keturunan yang telah menikah. Pendatang yang telah berkeluarga akan diberikan tanah untuk tempat tinggal dan berkebun tetapi tidak mempunyai hak milik atas tanah. Keturunan penduduk asli Pulau Gag memiliki hak penuh atas penguasaan dan pemanfaatan atas tanah yang diberikan kepadanya. Kepemilikan dan hak penguasaan tanah yang terdapat di Pulau Gag akan mendorong kedatangan pendatang yang akan berpengaruh positif terhadap investasi dan menggerakkan roda ekonomi regional.
Pemanfaatan lahan yang ada di Pulau Gag terdiri dari lahan pemukiman dan pekarangan, landasan pesawat terbang, dusun sagu, kebun kelapa, kebun, lahan pertambangan, dan hutan sekunder. Terdapat dua pemukiman di Pulau Gag yaitu Kampung Lama dan Kampung Baru. Pemukiman Kampung Lama adalah pemukiman kuno awal masuknya penduduk asli Pulau Gag, sekarang bekas kampung tersebut telah menjadi lahan untuk kebun, yang ditandai dengan adanya beberapa pemakaman kuno. Jarak antara Kampung Lama dan Kampung Baru kira-kira 5 Km. Dusun sagu menyebar di sekeliling Pulau Gag pada tanah-tanah berawa dan berdekatan dengan lahan untuk kebun. Lahan untuk kebun dan kebun kelapa menyatu dan tidak terpisah. Landasan pesawat terbang yang dibangun pada masa PT. Pasifik Nikel merupakan bekas lahan kebun dan kebun kelapa. Landasan tersebut sekarang hanya berfungsi sebagai tempat penggembalaan ternak atau sekali-kali didarati pesawat terbang jenis helikopter atau twin otter yang membawa rombongan pemerintah yang melakukan kunjungan kerja. Lahan pertambangan berada pada bukit-bukit yang kering dan tandus. Kegiatan penambangan nikel menurut pihak perusahaan sudah tidak ada lagi, kecuali kegiatan eksplorasi pengambilan sampel dengan proses pengapalan untuk dikirim ke Australia, setelah sampai di Sorong.
Tanah adalah salah satu harta yang dapat diwariskan. Kepemilikan tanah yang ada di Pulau Gag umumnya diwariskan sesuai dengan hukum Islam, dimana laki-laki akan memperoleh hak yang lebih besar dari perempuan. Pengalihan hak dari orang tua kepada anaknya dilakukan ketika orang tua sudah meninggal dan anak telah berkeluarga. Selain diwariskan kepada keturunannya tanah di Pulau Gag juga diberikan untuk kepentingan umum (hibah), sesuai dengan hukum Islam hibah adalah pemberian yang dilakukan untuk kepentingan umum dengan harapan pemberi hibah akan mendapatkan pahala sepanjang tanah itu dimanfaatkan. Hibah tanah umumnya digunakan untuk bangunan masjid dan sekolah.

3.4  Sosial Ekonomi Penduduk
3.4.1     Mata Pencaharian dan Ekonomi Penduduk
Secara umum terdapat tiga jenis mata pencaharian utama penduduk di Pulau Gag yaitu : nelayan, pegawai dan petani. Namun disamping mata pencaharian pokok tersebut, penduduk juga mempunyai mata pecaharian sampingan seperti : berkebun, meramu sagu, membuat kopra dan berdagang. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3. Di bawah ini :
Tabel (Table) 3. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Pulau Gag (2009)






Wilayah yang dikelilingi oleh laut menyebabkan hampir sebagian besar penduduk di Pulau Gag menggantungkan hidupnya dengan bekerja sebagai nelayan tradisional. Tingkat pendidikan yang rendah juga menyebabkan nelayan sebagai salah satu alternatif pekerjaan, karena nelayan tradisional di daerah ini tidak menggunakan teknologi tinggi dalam penangkapan ikan, sehingga pekerjaan ini tidak memerlukan pendidikan formal. Teknik penangkapan ikan oleh masyarakat antara lain dengan menggunakan jaring, racun (akar bore), tombak, busur dan anak panah, bahan peledak dan jerat ikan.
Tingkat pendidikan yang rendah dan desakan kebutuhan ekonomi menyebabkan kurangnya pemahaman masyarakat tentang konservasi sumberdaya alam, sehingga masyarakat mempunyai kebiasaan menggunakan bahan peledak dan bahan-bahan yang merusak kehidupan biota laut dalam menangkap ikan.
Pada dasarnya perairan di sekitar Pulau Gag kaya akan hasil laut berupa berbagai jenis ikan (tuna, kembung, samandar, bobara, kurisi, baronang, hiu, bulanak, lalosi, teri, udang, lobster dan teripang. Hasil perikanan selain dikonsumsi sendiri juga dijual pada masyarakat di Pulau Gag dan pengepul yang datang dari Sorong baik berupa ikan segar maupun ikan asin. Kurangnya teknologi untuk pengawetan ikan terkadang menyebabkan rendahnya harga jual ikan di tingkat nelayan. Harga jual selain dipengaruhi oleh kualitas ikan juga dipengaruhi oleh permintaan maupun penawaran di pasaran.
Penunjukkan kawasan Raja Ampat sebagai Suaka Margasatwa Laut oleh Kementerian Kehutanan juga membatasi akses masyarakat untuk memanfaatkan laut sebagai sandaran mata pencaharian. Selain itu juga menutup kemungkinan terbukanya lapangan kerja di sektor perikanan, karena investasi bidang kelautan, seperti penangkapan ikan dan pengalengan oleh perusahaan asing seperti di Sorong, tidak mungkin dilakukan di daerah ini. Walaupun seperti diketahui laut-laut di perairan Papua, pada umumnya mengandung kekayaan laut yang bernilai ekonomis tinggi. Penunjukan kawasan ini sebagai kawasan konservasi laut akan menyebabkan pembatasan akses terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, karena kawasan konservasi hanya dapat diperuntukkan sebagai tempat pendidikan dan penelitian.
Selain bekerja sebagai nelayan umumnya masyarakat di Pulau Gag juga mempunyai pekerjaan sampingan berkebun. Kondisi tanah yang tandus dan berbatu menyebabkan tidak ada tanaman yang bisa dijadikan komoditas perdagangan. Hasil kebun umumnya hanya digunakan secara subsisten dan dijual antar warga. Tanaman yang ditanam merupakan tanaman konsumsi masyarakat antara lain : kangkung (Ipomoeaspp), keladi (Colocasiaesculanta), singkong (Manihotutilisima), ubi jalar (Ipomoea batatas), pinang (Areca cattechu), cabai (Capsicum anuum), tomat (Solanumtuberocum) dan aneka tanaman pekarangan (bumbu dapur) seperti jahe (Zingiberofficinale) , kunyit (Curcumadomestica), lengkuas (Alpiniagalangal), sereh (Andropogonnardus) dan pandan (Pandanusamaryllifolius). Selain itu masyarakat juga menanam tanaman perdagangan seperti coklat (Theobromacacao), kopi (Coffea sp) dan cengkeh (Eugeniaaromatica) walaupun dalam kuantitas yang kecil dan tidak terlalu berorientasi terhadap pasar.
Letak kebun umumnya jauh dari pemukiman dan terletak di hutan sekunder. Pada umumnya masyarakat melakukan kegiatan berkebun sebagai usaha sampingan selain pekerjaan utama baik sebagai nelayan atau pegawai. Kegiatan berkebun dilakukan ketika cuaca tidak mengijinkan untuk melaut dan hari-hari libur untuk pegawai. Hal ini dilakukan karena hasil kebun hanya untuk memenuhi kebutuhan nabati. Sistem pertanian masyarakat di Pulau Gag adalah pertanian menetap, berkaitan dengan sistem pemilikan dan penguasaan tanah.
Di samping berkebun masyarakat di Pulau Gag juga memproduksi sagu sebagai makanan pokok seperti kebanyakan suku-suku di kawasan timur Indonesia umumnya. Pohon sagu (Metroxylonsagoo) tumbuh secara merata di kawasan Pulau Gag terutama di daerah rawa, sehingga untuk memperoleh sagu tidaklah sulit. Kegiatan meramu sagu dilakukan selain untuk dikonsumsi sendiri juga dijual keluar Pulau Gag. Kegiatan ini biasanya dikerjakan dalam satu keluarga, seperti halnya dalam berkebun atau membuat kopra. Distribusi peran dilakukan berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki umumnya bertugas untuk memilih dan menebang pohon sagu, sedangkan perempuan betugas meremas sagu. Kegiatan meramu sagu merupakan bagian dari kegiatan yang sehari-hari dilakukan oleh masyarakat di samping mencari ikan, berkebun dan membuat kopra.
Bagi masyarakat petani dan peramu sagu, penetapan Kepulauan Raja Ampat sebagai kawasan konservasi, menyebabkan terhentinya operasional perusahaan nikel di Pulau Gag. Banyaknya karyawan yang di-PHK menyebabkan berkurangnya penduduk di Pulau Gag, karena sebagian besar membawa pulang keluarganya. Hal ini berakibat pada semakin sulitnya pemasaran hasil kebun dan sagu. Pasar, sebagai tempat bertemunya penjual dan pembeli juga bubar, karena tidak ada pembeli lagi.
Salah satu mata pencaharian masyarakat di Pulau Gag adalah membuat kopra, yaitu kelapa (Cocosnucifera) yang dikeringkan dengan cara diasapi, karena banyaknya pohon kelapa yang tumbuh di hampir seluruh daratan Pulau Gag. Kegiatan membuat kopra dilakukan di kebun yang letaknya terpisah dan jauh dari pemukiman warga, sehingga umumnya masyarakat akan membuat pondok berserta tungku pemasak kopra di tengah kebun serta menginap berhari-hari di tempat tersebut.
Pekerjaan membuat kopra dilakukan oleh suatu keluarga besar yang terdiri dari bapak, ibu dan anak-anak yang sudah menikah. Pembagian kerja dilakukan berdasar jenis kelamin. Laki-laki melakukan pekerjaan memetik kelapa dengan memanjat pohonnya dan menguliti sabut kelapa, sedangkan kaum perempuan mengupas tempurung kelapa, mengumpulkan airnya dan mengasapi daging buah di tungku yang sudah disediakan. Pekerjaan ini umumnya dilakukan selama 2 – 3 minggu lalu tiba masa istirahat untuk memberi kesempatan pohon kelapa berproduksi kembali. Sambil menunggu kelapa siap dipetik, para pembuat kopra kembali menjalankan aktivitas di kebun, mencari ikan dan hasil laut, meramu sagu dan lain-lain.
Bagi masyarakat pembuatan kopra juga menambah penghasilan rumah tangga, selain dari usaha tani dan mencari ikan. Kesulitannya adalah dalam hal pemasaran.
Pada umumnya masyarakat memasarkan pada para pengepul yang ada di Pulau Gag, sehingga hanya memperoleh untung sedikit. Dibandingkan jika langsung dibawa ke Sorong, untung yang diperoleh lebih besar, namun harus mengeluarkan ongkos angkut yang lebih besar. Kesulitan yang lain adalah jika cuaca hujan berhari-hari, maka pengeringan kelapa akan terhambat.
Pemasaran hasil bumi Pulau Gag selain lewat pemilik kios sebagai pengumpul lokal. Datangnya para pengumpul dari luar Pulau Gag yang datang secara periodik baik dari Pulau Gebe, Ternate maupun dari Bitung dengan menumpang kapal perintis yang masuk Pulau Gag setiap 3 minggu sekali. Demikian halnya pengumpul dari Sorong akan datang pada saat kapal perintis tersebut kembali dari Sorong untuk melanjutkan rutenya kembali ke Bitung. Aliran tata niaga hasil bumi yang berlangsung pada masyarakaKampung Gambir dapat dilihat pada Gambar 1.


 












Gambar (Figure) 1. Alur Tata Niaga di Pulau Gag, Raja Ampat (Flow on Commerceat Gag Island,Raja Ampat)

3.4.2     Kebudayaan Masyarakat
3.4.2.1 Suku
             Suku yang mendiami Desa Gambir, Pulau Gag adalah suku arfak.
3.4.2.2 Bahasa
            Bahasa yang biasa digunakan adalah bahasa Moi. Bahasa ini adalah bahasa yang digunakan oleh penduduk Desa Gambir untuk berkomunikasi. Bahasa Moi yang digunakan adalah berasal dari daratan besar sebelah barat wilayah Kepala Burung yang berbatasan langsung dengan Selat Sele.
3.4.2.3 Rumah Adat
            Rumah Adat Papua Barat Rumah adat Mod Aki Aksa merupakan rumah tinggal bagi masyarakat suku Arfak pada masa silam yang mendiami daerah sekitar pegunungan Arfak di kabupaten Manokwari, hingga daerah sekitar teluk Bintuni. Rumah adat Papua Barat berstruktur panggung ini hingga sekarang masih tetap digunakan sebagai rumah tinggal karena dianggap lebih mudah dibuat sekaligus desainnya sangat cocok untuk bertahan di lingkungan pegunungan Papua Barat yang bersuhu dingin.
Struktur Bangunan Rumah Adat Mod Aki Aksa disebut mudah dibuat karena dalam proses pembangunannya hanya diperlukan bahan material yang berasal dari alam. Tiang, dinding, lantai, dan atap dari rumah ini memang tak sedikit pun menggunakan besi atau semen yang harus dibeli di toko. Semua material murni bisa diambil dari alam sekitar tempat tinggal penduduknya. Salah satu yang menjadi keunikan tersendiri dari rumah adat ini terletak pada desain tiangnya. Rumah Mod Aki Aksa dibangun di atas jajaran tiang-tiang kayu berukuran kecil yang sangat banyak karena rata-rata dibuat dari kayu berdiameter 10 cm dengan jarak antar tiang hanya 30 cm. Saking banyaknya tiang, rumah inipun kerap disebut Rumah Berkaki Seribu atau Rumah Seribu Tiang. Nama Mod Aki Aksa sebetulnya juga berasal dari sebutan ini. Sebagian tiang pada rumah adat Papua Barat ini menyangga rangka lantai dan sebagian lainnya yang sisi rumah menyangga rangka atap. Rangka lantai sendiri dibuat dari anyaman rotan yang kemudian ditimpa papan kayu. Papan kayu disusun sejajar sebagai lantai utama dan digunakan untuk pijakan saat penghuni melaksanakan aktivitas di dalam rumah. Papan kayu juga digunakan untuk material dinding bagian dalam. Papan untuk dinding tidak dipaku, melainkan hanya diikat menggunakan serut rotan di kedua sisinya. Terkadang, papan kayu untuk dinding juga dapat digantikan fungsinya oleh kulit kayu yang disusun vertikal. Untuk atap, material yang sering digunakan adalah anyam daun alang-alang kering. Kendati begitu, belakangan material atap seng juga kerap ditemukan. Atap rumah adat Papua Barat ini memiliki desain unik. Di bagian depan terlihat lengkung, sementara di bagian belakang tampak seperti pelana kuda. Meski hanya terbuat dari daun alang-alang, atap rumah adat ini cukup awet dan baru diganti setelah beberapa tahun saja. Rumah Adat Papua Barat (Mod Aki Aksa).
            Rumah adat Mod Aki Aksa memiliki tinggi sekitar 4-5 meter dan ukuran luas lantai 8 x 6 meter. Dalam ukuran rumah sedemikian kecil, terdapat beberapa keunikan lain yang terdapat di rumah ini. Pertama rumah ini tidak memiliki satu jendela pun di dindingnya. Ini dimaksudkan untuk menjaga suhu dalam rumah agar tetap hangat saat malam hari. Kedua, rumah ini hanya memiliki 2 pintu di bagian depan dan belakang rumah sedangkan bagian dalamnya berupa 1 ruangan plong berukuran besar tanpa dinding pemisah. Setiap kegiatan penghuninya dilakukan dalam ruangan besar ini bersama-sama, entah itu untuk makan, tidur, beristirahat, atau bercengkrama bersama keluarga saat malam hari. Di bagian depan dan belakang rumah terdapat tangga yang terbuat dari rangka kayu yang diikat menggunakan rotan. Khusus untuk bagian belakang, tangga hanya dipasang pada saat-saat tertentu saja. Pada tingkat masyarakat adat tertentu (biasanya kepala suku) bagian tiang rumah diukur sebagain dengan ukiran-ukiran berupa patung. Ukiran tersebut dianggap dapat menjaga rumah dan pemiliknya dari segala bahaya.

3.4.2.4   Pakaian Adat
a.    Koteka
    Koteka adalah sebuah penutup kemaluan sekaligus pakaian adat laki-laki Papua. Pakaian ini berbentuk selongsong yang mengerucut ke bagian depannya. Koteka dibuat dari bahan buah labu air tua yang dikeringkan dan bagian dalamnya (biji dan daging buah) dibuang. Labu air yang tua dipilih karena cenderung lebih keras dan lebih awet dibanding labu air muda, sementara pengeringan dilakukan agar koteka tidak cepat membusuk. Pakaian Adat Papua Beberapa suku menyebut koteka dengan nama hilon, harim, atau bobbe. Koteka digunakan sebagai pakaian sehari-hari maupun sebagai pakaian saat melakukan upacara adat dengan cara diikat ke pinggang menggunakan seutas tali sehingga ujung koteka mengacung ke atas. Khusus untuk yang dikenakan saat acara adat, koteka yang digunakan biasanya berukuran panjang serta dilengkapi dengan ukiran-ukiran etnik. Sementara untuk yang dikenakan saat bekerja dan aktivitas sehari-hari koteka yang digunakan biasanya lebih pendek.
b.    Rok Rumbai
    Rok rumbai adalah pakaian adat Papua Barat untuk wanita berupa rok yang terbuat dari susunan daun sagu kering yang digunakan untuk menutupi tubuh bagian bawah. Dalam beberapa kesempatan, selain dikenakan wanita, rok rumbai juga bisa dikenakan para pria. Rok rumbai umumnya akan dilengkapi dengan hiasan kepala dari bahan ijuk, bulu burung kasuari, atau anyaman daun sagu.
c.     Perlengkapan Pakaian Adat yang Lain
    Selain menggunakan koteka atau rok rumbai, orang-orang asli Papua Barat juga mengenal aksesoris lain yang digunakan untuk mempercantik penampilannya saat mengenakan pakaian adat. Misalnya manik-manik dari kerang, taring babi yang diletakkan diantara lubang hidung, gigi anjing yang dikalungkan di leher, tas noken (tas dari anyaman kulit kayu untuk wadah umbi-umbian atau sayuran yang dikenakan di kepala), serta senjata tradisionalnya yakni berupa tombak, panah dan sumpit.

3.4.2.5    Tarian Khas Daerah
          Tarian khas daerah Papua Barat yakni tari mambri.  Gerakan tari ini sangat dinamis dimana tari ini menggambarkan semangat para prajurit Papua Barat yang ingin terjun ke medan perang dengan bekerja sama demi mencapai satu tujuan.

3.4.2.6    Alat Musik Daerah
          Alat musik Papua Barat adalah fuu dan tifa. Fuu adalah alat musik tiup yang terbuat dari kayu yang dimainkan dengan cara ditiup pada bagian yang berlubang atau terbuka. Selain digunakan untuk memanggil penduduk, alat ini biasanya juga digunakan untuk mengiringi tari-tarian khas Papua Barat. Tifa adalah alat musik yang menyerupai kendang dan terbuat dari kayu yang dilubangi tengahnya. Tifa dimainkan dengan cara dipukul. Alat musik ini terbuat dari sebatang kayu yang dikosongi atau dihilangi isinya dan pada salah satu sisi ujungnya ditutupi. Biasanya penutupnya terbuat dari kulit rusa yang telah dikeringkan untuk menghasilkan suara yang bagus dan indah. Biasanya digunakan untuk mengiringi tari-tarian.

3.4.2.7 Makanan Khas
          Papeda adalah makanan berupa bubur sagu khas Papua, Papua Barat dan Maluku yang biasanya disajikan dengan ikan tongkol atau mubara yang dibumbui dengan kunyit. Papeda berwarna putih dan berterkstur lengket menyerupai lem dengan rasa yang tawar. Papeda merupakan makanan yang kaya serat dan rendah kolesterol dan cukup bernutrisi.

3.5  Sarana dan Prasarana
3.5.1     Transportasi
Jarak Pulau Gag dengan Kota Sorong 150 km dan hanya dapat ditempuh dengan transportasi laut. Apabila menggunakan speed boat jarak tempuhnya kurang lebih 4 jam, dalam waktu 2 kali dalam sebulan biasanya ada speed boat milik perusahaan PT. Gag Nikel yang melayari rute Sorong – Pulau Gag pulang pergi, namun hanya untuk kalangan terbatas. Pengoperasian speedboat perusahaan dilakukan untuk mendukung maintenance perusahaan di pulau Gag selama keputusan terhadap status pulau Gag belum selesai.
Walaupun secara operasional pertambangan, PT. Gag sudah tidak melakukan eksplorasi lagi, namun keberadaannya di Pulau Gag masih ada sampai sekarang untuk melakukan pengambilan sampel penelitian kandungan nikel. Jumlah karyawan yang ada pun tidak sebanyak dulu lagi.
Sedangkan apabila menggunakan kapal perintis dengan ongkos Rp 75.000,memerlukan waktu satu hari satu malam, karena kapal harus singgah di beberapa tempat. Kapal perintis dari Halmahera menuju Sorong ini biasanya akan lewat dan singgah di Pulau Gag dalam waktu 3 minggu sekali. Sulitnya perhubungan dan tingkat perekonomian yang rendah menyebabkan mobilitas penduduk tergolong rendah, karena umumnya masyarakat jarang sekali bepergian walaupun dalam kurun waktu satu tahun pun.

3.5.2     Komunikasi
Sarana komunikasi yang menghubungkan Pulau Gag dengan dunia luar berupa telephon satelit dan SSB milik PT. Gag Nikel. Sedangkan sarana informasi masyarakat berupa radio dan Televisi yang hanya dimiliki beberapa orang warga (karyawan perusahaan) karena selain harus memakai antena parabola juga ketersediaan listrik yang sangat terbatas. Masyarakat menikmati listrik pada malam hari antara pukul 18.00 – 00.00 WIT atas bantuan dari PT. Gag Nikel.

3.5.3     Fasilitas Pelayanan Ekonomi dan Perdagangan
Perputaran uang di Pulau Gag sangat rendah sekali. Tidak ada pasar dan hanya terdapat beberapa kios yang menyediakan kebutuhan masyarakat. Pada umumnya masyarakat jarang sekali memiliki uang tunai, sehingga untuk memperoleh barang-barang yang dibutuhkan dari kios maka masyarakat akan berhutang dulu dan akan dibayar ketika memperoleh hasil baik dari hasil melaut, berkebun, membuat kopra atau meramu sagu.
Sebagian besar transaksi jual beli yang dilakukan oleh masyarakat cenderung menggunakan sistem barter dengan standar harga pasaran, karena kebetulan para pemilik kios juga merupakan pedagang pengumpul/ pengepul (collector). Hasil bumi yang dibarterkan pada pemilik kios antara lain adalah kopra, cengkeh, kakao, sagu, ikan asin, teri pur/kering, teripang (Seacucumber). Hasil bumi tersebut adalah sebagai penukar barang-barang kelontong maupun kebutuhan hidup sehari-hari yang sebelumnya telah diambil masyarakat antara lain beras, gula, garam, minyak goreng, rokok, dan lain-lain.
3.5.4     Fasilitas Pelayanan Sosial
3.5.4.1 Kesehatan






Kunjungan dokter ke kampung-kampung di Kabupaten Raja Ampat sudah terjadwalkan. Setiap bulan dokter berkeliling untuk melakukan pengobatan. Waktu kunjungan pelayanan kesehatan hanya beberapa jam karena harus menjangkau beberapa kampung sekaligus. Namun pelayanan kesehatan disesuaikan dengan jumlah pasien yang ada dan yang membutuhkan pertolongan dari dokter.  
Untuk Distrik Waigeo Selatan, kunjungan dokter hanya dilakukan ke kampung Yenbekwan dan kampung Yenbuba. Kampung Gambir sama sekali tidak tersentuh akan layanan kesehatan. Ibu-ibu di kampung Gambir yang melahirkan ditolong oleh “dukun beranak” yang tidak terlatih. Dengan adanya dukun beranak tersebut ibu-ibu yang melahirkan bisa tertolong walaupun dengan fasilitas penunjang yang sangat terbatas.
Penyakit yang dominan diderita oleh masyarakat kampung Gambir adalah penyakit malaria, tuberkulosis paru (TB paru), infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan penyakit kulit. Jenis penyakit seperti TB paru dan ISPA memang lebih disebabkan karena faktor suhu udara yang dingin di kampung. Selain itu karena nelayan di kampung Gambir sering melaut lebih dari 8 jam sehingga berpotensi untuk terkena penyakit tersebut.
3.5.4.2 Pendidikan
Di Desa Gambir terdapat sebuah SD. Sedangkan untuk SMP dan SMA bagi yang ingin melanjutkan harus menempuh perjalanan ke Saonek, ibukota Distrik Waigeo Selatan. Untuk masyarakat yang ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi harus menempuhnya di luar daerah. Untuk fasilitas yang terdapat di sekolah-sekolah tersebut masih menggunakan papan tulis dari papan kayu dengan alat tulis berupa kapur tulis. Tenaga pengajarpun juga masih berasal dari penduduk sekitaran Papua Barat. Akan tetapi setelah adanya program pemerintah GGD (Guru Garis Depan) kondisi pendidikan di Desa Gambir perlahan mulai membaik dengan adanya tenaga kependidikan yang jauh lebih baik.

3.6   Potensi Wilayah
3.6.1     Bahari
Pulau Gag memiliki potensi sumberdaya yang sangat tinggi, meliputi sumberdaya mineral, perikanan, ekosistem mangrove, terumbu karang, rumput laut, dan biota laut lainnya. Terumbu karang banyak ditemukan terutama di perairan tropis dan subtropis, dengan sebaran vertikal dari bagian surut terendah sampai ke kedalaman kurang lebih 30 meter. Di dalam ekosistem terumbu karang pada umumnya yang merupakan biota dominan ialah karang batu. Dengan kerangka yang keras dan bentuk serta ukurannya yang beraneka ragam, karang batu dipakai sebagai tempat hidup, berlinding dan mencari makan oleh berbagai jenis biota lain seperti Crustacea, Molusca, Echinodermata, Polichaeta. Terumbu karang di Pulau Gag tersebar luas hampir di seluruh kepulauan, namun sebaran terumbu karang terbesar terdapat di Distrik Waigeo Utara, Waigeo Selatan dan Misool. Di ekosistem terumbu karang Pulau Gag banyak ditemui ikan karang, jenis-jenis ikan yang banyak ditemukan di kawasan ini antara lain ikan ekor kuning, pisang-pisang, napoleon, kakatua, kerapau, kakap dan baronang. Sedangkan untuk Crustacea yang banyak ditemukan adalah jenis Penaidae dan kepiting bakau (Scylia). Penyebaranya cukup besar terutama di kawasan Selat Lele, Seget, Saigun, Teminabuan, dan Inanwatan. Selain itu Pulau Gag juga mempunyai kenampakan alam unik dan pemandangan yang cantik di sekitar lautan.

3.6.2     Pertambangan
Eksploitasi nikel di Pulau Gag telah ada sejak zaman kolonial Belanda. Pada saat Belanda meninggalkan Indonesia, maka Irian Jaya kembali ke pangkuan RI dan terjadinya nasionalisasi perusahaan milik Belanda pada tahun 1972. Penambangan nikel dilanjutkan oleh PT. Pasifik Nikel (perusahaan PMA dari AS) sampai dengan tahun 1981. Selanjutnya, pertambangan nikel dikelola oleh PT. Aneka Tambang (salah satu BUMN) yang kemudian melakukan kontrak kerjasama dengan PT. BHP Biliton (perusahaan PMA dari Australia) pada tahun 1995 dengan pembagian saham 3 : 1, yaitu 75% dimiliki oleh PT. BHP Biliton dan 25% dimiliki oleh PT. Aneka Tambang.
Dalam perkembangan selanjutnya, PT. BHP Biliton menggandeng partner kerja Falcon Bridge (perusahaan penambangan PMA asal Kanada) dengan kepemilikan saham 37% dari seluruh proyek nikel di Pulau Gag. Manajemen dan operasional pertambangan nikel di Pulau Gag selanjutnya dikelola oleh PT. Gag Nikel yang melakukan eksplorasi dan pengambilan sampel.
Pada tahun 1999 PT. Gag Nikel mulai menghentikan kegiatan eksplorasinya bersamaan dengan keluarnya UU No 41 Tahun 1999 dan isu penetapan Pulau Gag sebagai hutan lindung. Walaupun eksplorasi pertambangan sudah tidak dilakukan, tetapi keberadaan perusahaan masih ada dan hanya melakukan kegiatan pengambilan sampel. Hal ini berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi Pulau Gag, karena terhentinya operasional pertambangan menyebabkan PHK pada sejumlah karyawannya, sehingga menambah pengangguran dan mengurangi perputaran uang tunai yang ada di Pulau Gag.


3.7  Masalah dan Kendala
3.7.1     Rendahnya Tingkat Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di Pulau Gag menyebabkan kurangnya pemahaman tentang makna konservasi sumber daya alam di masa mendatang. Selain itu dengan pendidikan yang relatif rendah dan kurangnya ketrampilan menyebabkan masyarakat banyak berharap akan keberadaan lapangan kerja yang dibuka perusahaan di sektor pertambangan tanpa memahami dampak negatifnya secara ekologis terhadap kehidupan generasi mendatang.
3.7.2     Isolasi Geografis
Jarak Pulau Gag dengan Kota Sorong 150 km dan hanya dapat ditempuh dengan transportasi laut. Apabila menggunakan speed boat jarak tempuhnya kurang lebih 4 jam, dalam waktu 2 kali dalam sebulan biasanya ada speed boat milik perusahaan PT. Gag Nikel yang melayari rute Sorong – Pulau Gag pulang pergi, namun hanya untuk kalangan terbatas. Pengoperasian speedboat perusahaan dilakukan untuk mendukung maintenance perusahaan di pulau Gag selama keputusan terhadap status pulau Gag belum selesai.
Walaupun secara operasional pertambangan, PT. Gag sudah tidak melakukan eksplorasi lagi, namun keberadaannya di Pulau Gag masih ada sampai sekarang untuk melakukan pengambilan sampel penelitian kandungan nikel. Jumlah karyawan yang ada pun tidak sebanyak dulu lagi.
Sedangkan apabila menggunakan kapal perintis dengan ongkos Rp 75.000,memerlukan waktu satu hari satu malam, karena kapal harus singgah di beberapa tempat. Kapal perintis dari Halmahera menuju Sorong ini biasanya akan lewat dan singgah di Pulau Gag dalam waktu 3 minggu sekali. Sulitnya perhubungan dan tingkat perekonomian yang rendah menyebabkan mobilitas penduduk tergolong rendah, karena umumnya masyarakat jarang sekali bepergian walaupun dalam kurun waktu satu tahun pun.

3.7.3     Rendahnya Tingkat Perekonomian
Perputaran uang di Pulau Gag sangat rendah sekali. Tidak ada pasar dan hanya terdapat beberapa kios yang menyediakan kebutuhan masyarakat. Pada umumnya masyarakat jarang sekali memiliki uang tunai, sehingga untuk memperoleh barang-barang yang dibutuhkan dari kios maka masyarakat akan berhutang dulu dan akan dibayar ketika memperoleh hasil baik dari hasil melaut, berkebun, membuat kopra atau meramu sagu.
Sebagian besar transaksi jual beli yang dilakukan oleh masyarakat cenderung menggunakan sistem barter dengan standar harga pasaran, karena kebetulan para pemilik kios juga merupakan pedagang pengumpul/ pengepul (collector). Hasil bumi yang dibarterkan pada pemilik kios antara lain adalah kopra, cengkeh, kakao, sagu, ikan asin, teri pur/kering, teripang (Seacucumber). Hasil bumi tersebut adalah sebagai penukar barang-barang kelontong maupun kebutuhan hidup sehari-hari yang sebelumnya telah diambil masyarakat antara lain beras, gula, garam, minyak goreng, rokok, dan lain-lain.

3.8  Program Pemerintah
3.8.1     Penetapan Pulau Gag Sebagai Hutan Lindung
Pulau Gag termasuk dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Wilayah ini sebagian besar adalah kawasan konservasi yang terdiri atas pulau-pulau. Kementerian Kehutanan menginginkan agar Pulau Gag tetap dijadikan hutan lindung. Di pihak lain Kementerian Pertambangan menginginkan eksploitasi terhadap potensi nikel yang terdapat di pulau tersebut. Pada akhirnya perusahaan BHP Biliton sebagai perusahaan tambang mengumumkan penghentian pertambangan nikel di Pulau Gag.
Ada dua alasan pokok Kementerian Kehutanan didukung oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tidak setuju dengan rencana pertambangan di Pulau Gag sebagai berikut :
1.     Kawasan laut Raja Ampat merupakan kawasan laut yang menempati urutan pertama dalam usulan oleh PBB (UNESCO) sebagai kawasan warisan dunia (World Heritage) karena mempunyai kekayaan hayati laut dan menyimpan 64% kekayaan terumbu karang dunia (Mc Kenna et al., 2002)
2.     Pertambangan nikel di Pulau Gag akan dilakukan melalui metode pembuangan tailing ke laut, STD (Submarine Tailings Disposal). Sistem ini menyebabkan kekhawatiran para pemerhati lingkungan hidup karena limbah tailing mengandung bahan beracun dan berbahaya (B3) yang dapat memusnahkan kehidupan laut bahkan mengancam keselamatan manusia yang mengonsumsi ikan yang terkontaminasi limbah tailing (Minergy News, 2001)
            Sebagian masyarakat Pulau Gag dengan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang sedemikian rupa mulai mempertanyakan mengapa pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan menetapkan Pulau Gag sebagai kawasan hutan lindung tanpa ada penelitian dan pengkajian terlebih dahulu. Sepengetahuan masyarakat yang sudah bertahun-tahun secara turun-temurun bermukim di kawasan ini beranggapan bahwa tidak ada yang istimewa pada kawasan ini untuk dijadikan kawasan lindung yang dalam pengetahuan secara awam merupakan kawasan yang harus dilestarikan keberadaan flora dan fauna yang langka. Sementara itu Pemerintah Kabupaten Raja Ampat ingin memberikan ijin penambangan karena dampaknya dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
       Berdasarkan SK Menhut No. 81/Kpts-II/1993 tertanggal 16 Februari 1993, Kepulauan Raja Ampat adalah salah satu Suaka Margasatwa Laut (Marine Wildlife Sanctuary). Ini berarti bahwa Pulau Gag tidak dimungkinkan untuk dieksplorasi maupun dieksploitasi sebagaimana UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa Suaka Margasatwa merupakan kawasan konservasi yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan pendidikan dan penelitian.
       Penambangan nikel di Pulau Gag dikhawatirkan akan mengancam keanekaragaman hayati laut di Kepulauan Raja Ampat karena kegiatan tersebut akan menimbulkan dampak ekologis negatif pada masa mendatang. Pembuangan limbah (tailing) yang mengandung logam berat (Mercuri dan Sianida) ke laut akan merusak dan mencemari biota laut, sehingga akan merusak ekosistem bawah laut. Hal ini juga berbahaya pada masyarakat yang mengonsumsi hasil laut yang sudah tercemar oleh logam berat tersebut (Jatam, 2006).
       Berhentinya penambangan nikel di Pulau Gag menyebabkan hilangnya impian masyarakat setempat yang berharap adanya peningkatan taraf hidup dengan beroperasinya perusahaan tambang. Keberadaan perusahaan akan meningkatkan perekonomian daerah dengan terbukanya isolasi kawasan, mempermudah pemasaran hasil bumi, pembukaan kesempatan kerja dan membuka kesempatan berusaha.

3.8.2     Program Guru Garis Depan
Pemerintah sangat berkomitmen dalam upaya mengatasi masalah pendidikan di Indonesia. Program Guru Garis Depan (GGD) adalah salah satu upaya pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta pemerintah daerah dalam memeratakan pelayanan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia terutama dalam hal pendistribusian tenaga pendidik atau guru. Salah satu lokasi yang menjadi target pemerintah dalam program ini adalah di Desa Gambir, Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat.

3.8.3     Penetapan Bahan Bakar Minyak Satu Harga
Pemerintah berupaya memperbaiki kebijakan bahan bakar minyak satu harga di wilayah Indonesia Timur. Pada Oktober 2016, presiden Joko Widodo menerapkan kebijakan bahan bakar minyak (BBM) satu harga di Papua dan Papua Barat. Tujuan diterapkannya kebijakan itu ialah agar semua masyarakat di Indonesia Timur yang sebelumnya membeli dengan harga mahal bisa merasakan harga yang lebih murah. Sebelum diterapkannya kebijakan ini, di wilayah Papua dan Papua Barat masyarakat harus membeli bahan bakar minyak (BBM) jenis premium seharga Rp 50.000,00 per liter hingga Rp 100.000,00 per liter. Kini masyarakat dapat membeli bahan bakar minyak (BBM) untuk setiap liternya; minyak tanah Rp 2.500,00, solar Rp 5.150,00 dan premium Rp 6.450,00. Pemerintah dalam hal ini bekerja sama dengan Pertamina menginstruksikan melakukan subsidi silang untuk menutupi potensi kerugian yang diakibatkan kebijakan BBM satu harga.

3.9  Solusi
Dengan berbagai permasalahan kompleks yang terjadi di Pulau Gag, maka solusi yang seharusnya dilakukan untuk menanganinya adalah :
1.      Mendistribusikan bantuan listrik ke Desa Gambir agar masyarakat dapat menikmati fasilitas yang memang seharusnya didapatkan sebagai warga negara tanpa harus dibatasi oleh waktu penggunaan.
2.      Mendistribusikan tenaga kesehatan untuk meminimalisir tingkat penderita penyakit TBC dan sebagainya di Desa Gambir. Adanya petugas kesehatan juga dapat berkontribusi dalam meningkatkan kualitas kesehatan anak bangsa yang akan menjadi generasi penerus di Indonesia.
3.      Menambah armada transportasi. Pulau Gag merupakan suatu daerah yang memiliki potensi wisata bahari yang luar biasa. Apabila akses ke pulau ini telah dipermudah, maka akan membuka peluang pekerjaan dan memperbaiki perekonomian masyarakat dengan adanya para wisatawan yang berkunjung.

































BAB IV
PENUTUP

4.1          Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan :
1.    Pulau Gag merupakan salah satu pulau yang memenuhi kriteria 3T yang terletak di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat.
2.    Awal mula nama Gag berasal dari banyaknya teripang yang ditemukan di pulau Gag.
3.    Kondisi ekonomi masyarakat Pulau Gag masih di bawah standar karena pekerjaan yang tidak tetap.
4.    Kondisi sosial masyarakatnya layaknya seperti masyarakat Indonesia pada umumnya yang memiliki adat dan kebudayaan.
5.    Di balik ketertinggalannya, Pulau Gag memiliki potensi alam bahari dan tambang nikel yang belum dikelola dengan baik.
6.    Pulau Gag merupakan pulau dengan kondisi alam, budaya, ekonomi yang sebenarnya berpotensi dalam membantu kemakmuran Indonesia jika dapat dikelola dengan baik. Sumberdaya yang ada di Pulau Gag belum dapat dimaksimumkan karena adanya kendala-kendala, baik dari segi kualitas manusianya maupun letak geografis wilayahnya.
7.    Pemerintah telah berupaya untuk menangani permasalahan-permasalahan yang ada di Pulau Gag meskipun belum menyeluruh.
8.    Diperlukan adanya bantuan listrik,tenaga kesehatan dan armada transportasi untuk memudahkan kegiatan masyarakat.

4.2          Saran
Kategori usia penduduk Pulau Gag belum dapat dijelaskan secara rinci. Hal ini disebabkan banyak masyarakat yang tidak menghafal tahun kelahirannya. Sebaiknya pada makalah selanjutnya dapat diidentifikasi kira-kira usia tiap individu yang mendiami Pulau Gag.





DAFTAR PUSTAKA

Coremap dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Raja Ampat. 2005. Atlas
Sumberdoyo Pesisir dan Lout Kepulauon Raja Ampot (Distrik Woigeo Borot dan Woigeo Seioton). Kerja Sama Antara Coremap tahap II, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Raja Ampat dengan PT. Edecon Prima Mandiri. 2005. Raja Ampat.

Hastanti, Baharinawati W, dan R. Gatot Nugroho. Kondisi Sosial Ekonomi dan
Budaya Masyarakat Sekitar Kawasan Konservasi: Studi Kasus Pulau Gag, Raja Ajmpat, Papua Barat. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea Vol.1 No.2, Desember 2012 : 149-164.

Kementerian Kehutanan, 1999. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
http://www.dephut.go.id  diakses pada hari Jumat, 14 April 2017 pukul 07.00 WIB






LAMPIRAN
 

2 komentar:

  1. Salam mb Ria, saya sedikit mengoreksi tulisannya, bahwa Suku yang mendiami pulau gag adalah Suku Gebe dan bahasa yang digunakan adalah Bahasa Gebe. Bukan Suku arfak dan juga bukan bahasa moi..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siap terimakasih. Saya dapat info tsb dari beberapa sumber & hasilnya berbeda2 sehingga yg saya masukkan salah satunya

      Hapus